TAKHRIJUL HADITS
A. Pengertian Takhrij al-Hadits
Secara kharfiah, kata takhrij ( تخريج) berasal dari
fi’il madli kharaja (ﺧﺭﱠﺝ) yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut
merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj (خروج) yang berasal
dari kata kharaja (خرﺝ) yang berarti keluar. Perhatikan dua ungkapan dalam dua contoh
dibawah ini :
~
‘Umar keluar (khuruj) dari masjid = المسجد من
عمر خرج
~
Bintang mengeluarkan (takhrij) warna = اللون
النجوم ﺧﺭﱠجت
Dengan
makna tersebut maka takhrij al-hadits secara sederhana berarti
“mengeluarkan hadits”, artinya hadits dicari atau dilacak dari sumbernya (kitab
hadits).
Adapun secara terminologis, takhrij al-hadits (الحديث تخريج)
dipahami sebagai cara penunjukan ketempat letak hadits pada sumber yang
orisinil takhrijnya berikut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat haditsnya
bila diperlukan. Dr. Mahmud at-Thahhan menjelaskan bahwa takhrij al-hadits adalah
cara penunjukan sumber asli dari suatu hadits, menjelaskan sanadnya dan
menerangkan martabat nilai hadits yang ditakhrij. Hatim menjelaskan pengertian takhrij
al-hadits sebagai berikut :
(Mengembalikan
hadtis ke sumber-sumber aslinya yang akurat. Jika pada aslinya tidak ditemukan,
maka dirujukkan pada cabang-cabangnya, dan jika mengalami kesulitan, maka
hendaklah dikembalikan pada catatan yang memeliki sanad, serta menjelaskan
tingkatan hadits secara umum)
Rumusan
definitif tersebut mengandung maksud bahwa takhrij al-hadits adalah upaya
menulusuri hadits hingga sumber atau asalnya, baik untuk menemukan sanad dan
perawinya maupun untuk mengklsrifikasi redaksi matannya. Tanpa demikian
dikhawatirkan hadits berada pada posisi dan status yang jauh dari apa yang
diharapkan. Sejarah telah membuktikan bahwa munculnya hadits palsu (mawdlu’)
dengan berbagai faktor dan motifnya telah mempengaruhi bahkan meracuni
kehidupan beragama.
Cendikiawan muslim yang
mula-mula melakukan takhrij adalah al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H./1070 M.),
lalun Musa al-Hazimi al-Syafi’i (w. 584 H./1188 M.) dengan karyanya yang
berjudul Takhrij al-Ahadits al-Muhadzdzab.
Kata takhrij secara etimologis
mempunyai arti: إجتماع أمرين متضادين في شيئ واحد [1],
artinya: berhimpun dua hal yang saling bertentangan dalam satu sesuatu.
Di dalam kamus disebutkan: وعام فيه تخريج: خصب وجذب, artinya: dalam satu tahun itu ada
takhrij, yakni ada musim hujan dan kemarau. Kata ini kemudian dimaknai:
-
al-Istinbath / الإستنباط -
mengambil simpul sesuatu.
-
al-Tadrib / التدريب – pendidikan,
pelatihan atau training – dimaknai: خِرِّج, artinya: “yang dikeluarkan”.
Contoh dalam kalimat[2]:
وفلان خرّيخ فلان, إذا كان يتعلّم منه. كأنه هو الذي
أخرجه من حدّ الجهل
Artinya: Si Fulan khirrij
fulan, jika Si fulan belajar dari fulan. [Hal itu mengandung arti] seolah-olah
Si Fulan dikeluarkan fulan dari garis kebodohan.
-
al-Tawjih / التوجيه – mengarahkan
atau menjelaskan arah.
Para ahli hadis memaknai takhrij
dengan :
1. sinonim kata ikhraj,
yakni mengemukakan hadis kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya, yakni
orang-orang yang menjadi mata rantai hadis tersebut. Sebagai contoh: “Kharrajahu
al-Bukhariy”, artinya: al-Bukhari meriwayatkan hadis itu dengan menyebutkan
sumbernya.
2. menampilkan hadis dan/atau
riwayat dari dalam pelbagai kitab
3. menisbatkan hadis ke dalam
[kitab] sumber-sumber hadis, dengan menyebutkan nama penulisnya.
Mahmud al-Thahhan memaknai takhrij
dengan: menunjukkan materi hadis di dalam sumber-sumber pokok yang
dikemukakan berikut transmisinya, dan menjelaskan kualifikasinya bila
diperlukan.
Bila merujuk pada pemaknaan yang
disampaikan oleh para ahli hadis, bolehlah didefinisikan secara sederhana bahwa
takhrij adalah kegiatan atau usaha mempertemukan matan hadis dengan
sanadnya. Adapun terkait dengan penjelasan kualifikasi hadis bukanlah tugas
pokok kerja takhrij.
Kitab-kitab yang masuk dalam kategori
kitab sumber pokok hadis adalah :
1. Kitab-kitab karya penulis
yang mendapatkan hadis secara langsung dari para guru hadis dengan transmisi
mencapai Nabi saw. Seperti Kutub al-Sittah, al-Muwaththa’ Imam
Malik, al-Musnad Imam Ahmad, Mustadrak al-Hakim, Mushannaf
Abd al-Razzaq, dlsb.
2. Kitab-kitab hadis yang
ditulis dengan merujuk lansung kepada kitab-kitab yang disebut pertama.
Misalnya al-Jam`u bayn al-Shahihayn karya al-Humaydiy. Selain itu karya
tulis hadis yang menghimpun ujung sebahagian kitab, seperti Tuhfat al-Asyraf
bi Ma`rifat al-Athraf karya al-Mizziy, atau merupakan ringkasan suatu kitab
hadis, sebagai misal Tahdzib Sunan Abi Dawud karya al-Mundziriy.
3. Kitab-kitab ragam disiplin
ilmu di luar hadis, seperti tafsir, fikih, tasawuf, kalam dan sejarah yang
menyandarkan argumentasinya kepada hadis.
B. Signifikansi dan
Urgensi Takhrij
Para ahli ilmu keislaman memastikan
bahwa siapa pun yang berkecimpung di arena ilmu syariah mengetahui dan
memelajari ilmu takhrij berikut tata aturan dan metodenya adalah sebuah
keniscayaan. Tujuannya sangat jelas, yakni agar ia mengetahui apakah sebuah
riwayat/informasi yang dijadikan landas pacu argumentasi suatu pendapat atau
sikap keagamaan tertentu benar-benar memiliki sumber yang jelas dan dapat
dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, bagi para pihak
pengkaji hadis dan ilmu-ilmu hadis, ilmu takhrij merupakan kebutuhan
yang bersifat dharuriy (primer). Melalui takhrij dimungkinkan
seorang pengkaji menemukan ragam hadis dengan muatannya yang terdapat dalam
berbagai buku sumber yang ditulis oleh para ahli pada masa-masa awal Islam.
C. Sejarah Takhrij
dan Penulisan Kitab Takhrij
Para
ahli dan peneliti keislaman generasi pertama umat Islam pada mulanya tidak
berpikir perlu membuat prinsip-prinsip dasar dan tata aturan mengenai takhrij
al-hadits (transfering and transforming of hadith). Argumentasi yang
mengalasi pendapat demikian, sebagaimana yang dikemukakan Mahmud al-Thahhan,
adalah faktor pengetahuan yang ekstensif dan intensif (ithila` wasi`)
yang dimiliki oleh para ahli tersebut terhadap sumber-sumber al-Sunnah.
Kemampuan dan pengetahuan yang demikian luas itu memudahkan mereka dalam
merujukkan setiap pendapat atau sikap keagamaan tertentu yang membutuhkan
alasan syar`i kepada kitab-kitab hadis yang ada ketika itu, bahkan
sampai pada tingkat yang paling partikular (juz’iy) dan detil.
Kondisi sebagaimana tersebut di atas
berlangsung hingga beberapa kurun waktu. Tetapi seiring perluasan wilayah
teritorial umat Islam dengan segala asesoris persoalan yang mengihiasinya, para
ahli dan peneliti keislaman pada masa berikutnya merasakan bahwa tingkat
pengetahuan dan kemampuan mereka mengenai al-Sunnah demikan tertelikung
oleh rupa-rupa keterbatasan. Mencari sebuah komunike profetik yang berasal atau
diduga dari Nabi saw – pada masa berikutnya – merupakan pekerjaan yang tidak
mudah, bahkan melelahkan!. Sementara itu, kebutuhan terhadap keputusan syariah
mengenai suatu persoalan begitu sangat mendesak, di samping terdapat banyak
sekali karya ilmiah yang menjadikan hadis sebagai asas argumentasinya –
seperti: tafsir, sejarah, tasawuf, kalam, dan fikih – tidak menjelaskan aspek
otentisitas, orisinalitas dan kualitas hadis yang dimaksud. Keadaan inilah yang
akhirnya mendorong sebagian ulama hadis mulai memikirkan sekaligus melakukan
aneka tindakan ilmiah yang dipandang perlu agar dapat segera lepas dari jerat
situasi tersebut.
Usaha para ulama hadis pada akhirnya
menghasilkan aneka rumusan tentang prinsip-prinsip dan tata aturan takhrij,
yang secara generatif melahirkan berbagai macam karya tulis yang kelak dinamai “Kutub
al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya berhasil mengembalikan matan
pada transmisinya, tetapi pula menjelaskan aspek orisinalitas dan kualitas
redaksional, bahkan bila dianggap diperlukan menerangkan pula kualitas
transmisinya.
Kitab-kitab Takhrij generasi pertama,
seperti yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan[3],
adalah kitab-kitab buah pena al-Khatib al-Baghdadiy [w. 463 H], di antaranya –
yang paling populer – yaitu: “Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa
al-Ghara’ib” kerja pena al-Syarif
Abu al-Qasim al-Husayniy; “Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah
al-Shihah wa al-Ghara’ib” buah karya Abu al-Qasim al-Mahrawaniy; dan karya
Muhammad Ibn Musa al-Hazimiy al-Syafi`iy “Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab”
[w. 584 H]. Kitab “al-Muhadzdzab” sendiri adalah kitab fikih berhaluan Syafi`iyyah
yang ditulis oleh salah seorang ulama besar syafi`iyyah, yakni Abu Ishaq
al-Syayraziy. Setelah itu, penulisan kitab-kitab “takhrij” semakin
banyak dilakukan oleh para ulama yang jumlahnya mencapai puluhan.
Berikut ini adalah kitab-kitab takhrij
yang dipandang paling populer[4]:
- Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab [Abu Ishaq al-Syayraziy], karya Muhammad Ibn Musa al-Hazimiy (w. 584 H);
- Takhrij Ahadits al-Mukhtashar al-Kabir [Ibn al-Hajib], karya Muhammad Ibn Ahmad Abd al-Hadiy al-Maqdisiy (w. 744);
- Nashb al-Rayah li Ahadits al-Hidayah [al-Marghighaniy], karya al-Hafizh Abd Allah Ibn Yusuf al-Zayla`iy (w. 762 H). Kitab ini diringkas kembali oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalaniy dalam “al-Dirayah fi Muntakhab Ahadits al-Hidayah;
- Takhrij Ahadits al-Kasyaf [al-`Allamah al-Zamakhsyariy], karya al-Zayla`iy. Kitab ini kemudian diringkas dalam satu jilid berikut satu jilid “mustadrak”-nya oleh al-Hafizh al-Kabir Syihab al-Din Abu al-Fadhl Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalaniy dalam kitab “al-Kaf al-Syaf fi Tahrir Ahadits al-Kasyaf;
- Al-Badr al-Munir fi al-Takhrij al-Ahaditz wa al-Atsar al-Waqi`ah fi al-Syarh al-Kabir [Abu al-Qasim Abd al-Karim Ibn Muhammad al-Qazwayniy al-Rafi`iy al-Syafi`iy – w.623 H], karya Umar Ibn Ali Ibn al-Mulqan (w. 804 H);
- Al-Mughniy `an Haml al-Ashfar fi al-Ashfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar [al-Ghazaliy], karya al-Hafizh Zayn al-Din Abd al-Rahim Ibn al-Husayn al-Iraqiy (w. 806 H);
- Al-Takhrij al-Ahadits al-latiy Yusyiru Ilayha al-Tirmidziy fi Kulli Bab, karya al-Iraqiy;
- Al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits Syarh al-Wajiz al-Kabir [al-Rafi`iy], karya al-Hafizh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalaniy (w. 852 H). Kitab al-Wajiz fi al-Furu` sendiri adalah buah pena Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazaliy al-Syafi`iy [penulis kitab Ihya’ Ulum al-Din, w. 505];
- Al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, karya al-Asqalaniy; dan
- Tuhfat al-Rawiy fi Takhrij Ahadits al-Baydhawiy, karya Abd al-Rauf Ibn Ali al-Munawiy (w. 1031 H).
Al-Mubarakfuriy[5],
selain menyebutkan beberapa karya lainnya dalam bidang takhrij yang
ditulis oleh para ulama-ulama di atas, juga mencatat beberapa nama lain yang
melakukan kerja takhrij ini, mereka antara lain ialah:
- Ali Ibn Utsman Ibn Ibrahim al-Maradiniy `Ala’u al-Din al-Turkamaniy [w. 705 H tanggal 10 Muharram], yang merupakan guru dari al-Zayla`iy. Al-Turkamaniy adalah imam dalam kajian fikih, usul fikih dan hadis yang memiliki banyak karya tulis, dua di antaranya “al-Muntakhab fi al-Hadits” dan “Takhrij Ahadits al-Hidayah”;
- Ali Ibn Hasan Ibn Shadqah al-Mishriy al-Yamaniy, karyanya “Idrak al-Haqiqah fi Takhrij Ahadits al-Thariqah” yang berhasil diselesaikannya pada bulan Ramadhan tahun 1050 H; dan
- Al-Syaykh Jala al-Din al-Suyuthiy, karyanya adalah kitab-kitab “Takhrij Ahadits Syarh `Aqa’id al-Nasafiy”, “Manahil al-Shafa fi Takhrij Ahadits al-Syafa”, dan “Nasyr al-`Abir fi Takhrij Ahadits al-Syarh al-Kabir”.
D. Pendekatan dan
Metode Takhrij al-Hadits
Kerja
takhrij yang dilakukan oleh generasi pertama ahli hadis hingga akhir
abad ketiga bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Kerja ilmiah mereka lebih
banyak dilakukan dengan melakukan perjalanan sangat jauh ke wilayah-wilayah
yang menjadi pusat-pusat tutorial hadis, sekedar untuk mengkonfirmasi atau
melakukan klarifikasi atas suatu riwayat yang diterimanya[6].
Sementara itu buku-buku yang dapat dijadikan panduan takhrij belum
banyak ditulis. Generasi sekarang sesungguhnya
dapat lebih mudah melakukan kerja takhrij-nya, dan juga
penelitian hadis lainnya, yakni dengan merujuk kepada metode serta buku-buku
hadis yang telah disediakan oleh generasi awal Islam yang dibuat melalui proses
yang demikian panjang, sulit dan melelahkan. Bahkan kecanggihan teknologi lebih
memudahkan para pemula melakukan kerja takhrij dengan hanya menggunakan
keping CD atau membuka informasi di situs internet.
Hanya saja secara konvesional para
pengkaji dan peneliti hadis setelah abad keempat Hijriah dalam melakukan kerja takhrij-nya
dapat menggunakan beberapa pendekatan manual di bawah ini:
- Pendekatan transmisional, melalui telaah akhir sanad (sahabat Nabi saw);
- Pendekatan redaksional, dengan melakukan pencermatan terhadap awal matan atau lafal kalimat tertentu yang tidak populer di lingkungan masyarakat;
- Pendekatan kontekstual, yaitu dengan cara mengeksplorasi kandungan materi hadis; dan
- Pendekatan deskripsional, adalah dengan melihat tanda-tanda lahir yang mengemuka, baik pada sanad maupun matan suatu hadis.
Pendekatan-pendekatan di atas, pada
tataran aplikasinya satu sama lain sesungguhnya saling melengkapi dan
menyempurnakan. Sebagai misal, pendekatan transmisi sangat mengandalkan pada
penyebutan nama sahabat nabi periwayat hadis; artinya bila di satu hadis tidak
disebutkan nama sahabat, maka pendekatan ini tidak dapat digunakan. Jalan
keluar yang dapat dilalui agar kerja takhrij tidak terhenti adalah
dengan beralih pendekatan, menggunakan pendekatan redaksional, misalnya.
Demikian seterusnya.
Selanjutnya setiap pendekatan tersebut
menuntut penggunaan metode tertentu sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Berikut
ini adalah rinciannya:
- Takhrij dengan menggunakan pendekatan transmisional bertumpu pada metode musnady, mu`jamy (syakhshiy) dan athrafy.
- Takhrij yang memanfaatkan pendekatan redaksional dan tema berpijak pada metode fihrisiy, mu`jamiy (alfahzi)y, istikhrajiy, istidrakiy dan istiqra’iy mawdhu`iy.
- Takhrij dengan pendekatan deskripsional menapakpijak pada metode metode istiqra’iy isnadiy wa matniy (analisis transmisi dan analisis materi, isi atau muatan).
Metode Musnadiy
Metode Musnadiy adalah sebuah metode takhrij
yang menjadikan kitab-kitab “musnad” (bentuk pluralnya: masanid)
sebagai pijakan sekaligus panduan dalam melakukan takhrij hadis.
Sementara itu, yang dimaksud kitab-kitab musnad adalah keseluruhan kitab
hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat Nabi saw. Al-Kattaniy dalam “al-Risalah
al-Mustathrafah” menyebut sekitar delapan puluh dua kitab yang berbentuk musnad,
bahkan – menurutnya – masih banyak yang lainnya[7].
Penulis musnad memiliki
pendekatan dan warna yang berbeda dalam menulis kitabnya, yaitu:
-
pertama, ada yang menulisnya
dengan pendekatan urut-urutan huruf alfabet (merupakan cara yang paling mudah
dan memudahkan);
-
kedua, ada yang menulisnya
berdasarkan urutan waktu masuk Islam, mulai dari Abu Bakr al-Shiddiq dan
seterusnya;
-
ketiga, ada yang berdasarkan
kabilah (kelompok);
-
keempat, ada yang menulisnya
berdasarkan pengelompokkan wilayah negara/tempat asal; dan lain sebagainya.
Di bawah ini adalah beberapa nama
kitab musnad yang terkenal:
- Al-Musnad karya Ahmad Ibn Hanbal [penghulu Madzhab Hanbaliy/Hanabilah, w. 241], merupakan kitab jenis musnad yang paling populer;
- Al-Musnad karya Abu Bakr Abd Allah Ibn al-Zubayr al-Humaydiy [w. 219];
- Al-Musnad karya Abu Dawud Sulayman Ibn Dawud al-Thayalisiy [w. 204];
- Al-Musnad karya Asad Ibn Musa al-Umawiy [w. 212 H];
- Al-Musnad Musaddad Ibn Musarhad al-Asdiy al-Bashriy [w. 228];
- Al-Musnad karya Abu Ya`la Ahmad Ibn Ali al-Mutsanna al-Mawshuliy [w. 307];
- Al-Musnad karya Abd Ibn Humayd [w. 249].
Al-Musnad karya Imam Ahmad termasuk kitab musnad
yang memiliki cara yang kompleks dalam menampilkan hadis-hadisnya. Di dalam al-Musnad
karya Imam Ahmad, pertama-pertama ditulis seluruh hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat-sahabat yang dinilai memiliki keunggulan dan keutamaan (afdhaliyat),
tetapi pada bagian lain kitabnya hadis ditulis diurut berdasarkan nama
wilayah/negeri/tempat asal sahabat, kemudian di tempat lainnya hadis diurut
berdasarkan nama kabilah sahabat.
Metode Mu`jamiy
Metode
Mu`jami ialah metode takhrij hadis yang mengandalkan buku-buku mu`jam
(buku hadis yang secara sistematis ditulis berdasarkan urut-urutan huruf alfabet,
bentuk jamaknya: ma`ajim) dalam melakukan kerja takhrij-nya.
Metode ini, sesuai dengan kebutuhannya,
dibagi menjadi dua yaitu: mu`jami syakhshiy dan mu`jami
alfazhiy.
Pertama, mu`jami syakhshiy adalah metode takhrij
yang secara aplikatif memanfaatkan buku-buku hadis yang disusun berdasarkan
nama-nama rawiy hadis. Berbeda dengan musnad, maka metode mu`jami
syakhshiy ini tidak dibatasi dengan penyebutan nama sahabat Nabi saw saja,
tetapi menjangkau siapa saja [berdasarkan nama guru, wilayah/tempat asal, dan
lain sebagainya] yang memungkinkan suatu hadis dapat dikembalikan kepada jalur
transmisi yang sebenarnya.
Di
antara buku-buku mu`jam, berikut ini adalah di antaranya:
Al-Mu`jam
al-Kabir, karya Abu al-Qasim Sulayman Ibn Ahmad al-Thabraniy [w. 360 H).
Kitab ini ditulis dalam bentuk musnad mu`jami (alfabetis), dengan tidak
menyertakan hadis-hadis Abu Hurayrah yang ditulisnya secara terpisah. Kitab ini
memuat sekitar enam puluh ribu hadis, dan merupakan kitab mu`jam terbesar di
dunia. Ketika dalam sebuah karya tulis disebut “mu`jam”, maka yang dimaksud
adalah kitab “Mu`jam al-Kabir” ini.
1. Al-Mu`jam al-Awshath, karya al-Thabraniy juga. Kitab ini ditulis
secara alfabetis berdasarkan nama-nama guru dari para penutur hadis. Di
dalamnya dimuat lebih kurang dua ribu nama guru hadis, bahkan ada yang
menghitungnya sampai tiga ribu nama.
2. Al-Mu`jam al-Shaghir, masih kerja pena al-Thabraniy. Kitab ini
merupakan ringkasan dari kitab al-Mu`jam al-Awshath, di mana sekitar seribu
nama guru hadis saja yang dimuat. Tidak berhenti sampai pada pengurangan
pencantuman nama-nama guru, dalam buku ini, secara umum dari tiapa-tiap guru
hadis hanya ditulis satu hadis saja.
3. Al-Mu`jam al-Shahabah, karya Ahmad Ibn Ali Ibn Lal al-Hamdaniy [w. 398
H).
4. Mu`jam al-Shahabah, buah kerja ilmiah Abu Ya`la Ahmad Ibn Ali
al-Mawshuliy [w. 307 H].
Kedua, mu`jamiy alfazhiy ialah metode takhrij
dibuat untuk menemutunjukkan suatu hadis bersandar pada kata tertentu yang
terdapat dalam sebuah hadis. Metode ini menjadikan buku mu`jam alfazhiy
sebagai landas pacunya. Al-Thahhan[8]
hanya menyebut satu kitab untuk membantu kerja takhrij model ini, yaitu
kitab “al-Mu`jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawiy”.
Buku karya seorang sarjana Belanda, Dr. A.J. Wensinck
[w. 1939 M] adalah buku jenis mu`jam yang sangat populer. Mu`jam
karya A.J. Wensinck pertama kali terbit dalam bahasa Inggris, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan dikoreksi oleh Dr. Muhammad Fuad Abd
al-Baqi. Edisi bahasa Arab pertama kali terbit pada 1933 M.
Kamus hadis karya Wensinck menghimpun
14 kitab hadis yang termasyhur, yaitu :
1. Jami` al-Bukhari 8.
Musnad Ahmad
2. Shahih Muslim 9. Musnad Abi Dawud
al-Thayalisi
3. Sunan Abi Dawud 10. Sunan al-Darimi
4. Jami` al-Turmudzi 11. Musnad Zaid Ibn Ali
5. Sunan al-Nasa’i 12. Sirah Ibn Hisyam
6. Sunan Ibn Majah 13. Maghazi al-Waqidi
7. Muwaththa` Malik 14. Thabaqat Ibn Saad
Selain Muhammad Fuad Abd al-Baqi, orang yang juga mengomentari kamus hadis
karya Wensinck adalah Ahmad Muhammad Syakir dan Muhammad Rasyid Ridha.
Mahmud al-Thahhan berpendapat metode
dan sistematika penulisan yang digunakan oleh Wensinck – yakni dengan
menggunakan pendekatan tematik – memberikan manfaat lebih daripada model
penyusunan kamus berdasarkan pengambilan kata awal pada permulaan hadis, atau kata awal dan kata
kedua pada permulaan hadis. Sebab bagi orang yang tidak hafal kata awal suatu
hadis, pendekatan kedua dan ketiga ini dirasa menyulitkan.
Sistematika penulisan “al-Mu`jam al-Mufahras”
adalah sebagai berikut:
1. Penyebutan nomor bab untuk kitab-kitab : Shahih al-Bukhari, Sunan
Abi Dawud, Jami` al-Turmudzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, dan Sunan
al-Darimi, setelah sebelumnya menyebut nama kitab dengan menggunakan rumus
tertentu, dan menyebut nomor urut pada kitab yang bersangkutan sesuai dengan
yang dilakukan penulisnya;
2. Penyebutan nomor hadis untuk kitab-kitab : Shahih Muslim, Muwaththa`
Malik, Musnad Zaid Ibn Ali, dan Musnad Abi Dawud al-Thayalisi, setelah
sebelumnya disebutkan nama kitab yang bersangkutan;
3. Penyebutan nomor halaman untuk kitab-kitab : Musnad Ibn Hanbal,
Thabaqat Ibn Saad, Sirah Ibn Hisyam, dan Maghazi al-Waqidi, setelah
sebelumnya disebutkan nomor juz [volume/jilid] kitab yang bersangkutan.
Mu`jam hadis karya Wensinck dalam edisi bahasa
Arab dikenal dengan nama Miftah Kunuz al-Sunnah. Di dalamnya terdapat
sekitar 33 rumus yang digunakan untuk merujukkan tema-tema hadis pada
kitab-kitab induknya.
Metode Athrafiy
Metode
Athrafiy yaitu sebuah metode takhrij hadis yang menjadikan
kitab-kitab athraf sebagai rujukkan dalam melakukan kerjanya. Al-Athraf
adalah model tashnif yang dilakukan oleh para penulis hadis dengan cara
menuliskan permulaan suatu matan hadis tertentu. Kemudian disebutkan
sandaran [sanad]-nya atau menisbatkannya kepada kitab-kitab tertentu
yang menjadi referensinya[9].
Penyebutan sanad dilakukan
dengan menggunakan dua pola : pertama, pola kompleks [menyebut seluruh rawi
yang terdapat pada sanad lengkap dengan simbol-simbol periwayatan yang
digunakannya]; dan kedua, pola sederhana [hanya dengan menyebutkan nama
guru penulis kitab].
Sistematika penulisan kitab athraf,
pada umumnya, menggunakan pola musnad sahabat secara alfabetis. Pola ini
secara sistematik akan memulai penulisannya dengan menuliskan hadis-hadis yang
berasal dari sahabat nabi yang namanya diawali huruf ‘alif’, demikian seterusnya.
Di samping itu, meskipun sedikit yang
melakukannya, ada penulis yang menyusun athraf-nya dengan mencatat awal matan
suatu hadis yang ditulisnya secara alfabetis. Sekedar menyebut di antaranya,
kitab ‘Athraf al-Ghara`ib wa al-afrad’, karya al-Daruquthniy, dan kitab ‘Al-Kasyaf
fi Ma`rifah al-Athraf’, karya al-Hafizh
Muhammad Ibn Husainiy, adalah contoh penulisan athraf yang
menggunakan pola kedua ini.
Berdasarkan hasil telaah yang seksama,
pola kedua adalah pola yang paling baik. Di samping memberikan banyak
kemanfaatan sekaligus kemudahan bagi para pembaca dan pembelajar hadis. Pola
kedua ini memungkinkan para pembaca dapat dengan segera mengingat kembali
materi hadis yang telah hilang dari memorinya. Sedangkan bagi para peneliti
hadis, pola kedua ini memudahkannya dalam melakukan komparasi matan.
Kitab yang ditulis
dengan menggunakan model athraf sangatlah banyak. Di antara kitab-kitab
tersebut yang terpopuler adalah :
1.
Athraf al-Shahihain,
karya Abu Mas`ud Ibrahim Ibn Muhammad al-Dimasyqi [w. 401 H], dan kitab dengan
judul yang sama karya Abu Muhammad Khalf Ibn Muhammad al-Washiti [w. 401 H].
2.
Al-Asyraf `Ala Ma`rifah al-Athraf, karya al-Hafizh Abul Qasim Ali Ibn al-Hasan Ibn Asakir [w. 547 H]. Memuat
athraf untuk hadis-hadis yang terdapat dalam kitab sunan Abu Dawud,
al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Ibn Majah.
3.
Tuhfah al-Asyraf bi Ma`rifah al-Athraf, karya al-Hafizh Abu al-Hajjaj Yusuf Abdurrahman al-Mizzi [w. 742 H].
Memuat athraf untuk hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Sittah.
4.
Ittihaf al-Mahrah bi Athraf al-`Asyrah, karya al-Hafizh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalani [w. 852 H].
5.
Athraf al-Masanid al-`Asyrah, karya Abul Abbas Ahmad Ibn Muhammad al-Bushiri [w. 840 H].
6.
Dzakha`ir al-Mawarits fi al-Dilalah `Ala Mawadhi` al-Hadits, karya Abdul Ghani al-Nabilisi [w. 1143 H].
Kitab Athraf menempati posisi penting baik dalam pembelajaran hadis
maupun dalam disiplin ilmu hadis. Di antara kegunaannya adalah :
1. Mengetahui sejumlah sanad hadis yang berbeda pada satu kasus yang sama,
dan dengan demikian akan dapat segera diketahui mengenai kedudukan suatu hadis
dilihat dari kuantitas sanad-nya;
2. Mengetahui mukharrij
hadis yang menjadi penulis kitab yang dirujuk oleh penyusun athraf; dan
3. Mengetahui jumlah relatif
hadis yang diriwayatkan oleh masing-masing sahabat nabi berdasarkan hadis yang
ditulis oleh penyusun athraf yang bersangkutan.
Perlu dicatat di sini, kitab athraf tidak ‘berkemampuan’ memberikan matan yang sempurna, sebagaimana ia pun tidak dapat memberikan esensi lafal hadis yang sejatinya tertulis dalam kitab-kitab yang dirujuknya. Kitab Athraf hanya memberikan makna yang termanifestasikan dari hadis yang diambil oleh penulisnya dari kitab-kitab asalnya. Oleh karena itu, untuk kebutuhan studi (penelitian} matan hadis, tetap harus membuka dan membedah kitab-kitab yang menjadi rujukkannya.
Metode Fihrisiy
Metode Fihrisiy adalah metode takhrij di mana kitab-kitab
fihrasat (indeks) hadis dijadikan dasar pijakkan dalam melakukan penelusuran
sumber suatu hadis. Buku indeks hadis biasanya membatasi diri hanya menulis
hadis-hadis hasil karya penulis kitab hadis tertentu. Misalnya, Muhammad Fuad
Abd al-Baqiy menulis buku indeks hadis-hadis yang terdapat pada kitab al-Sunan
karya Ibn Majah, demikian seterusnya.
Muatan pada kita-kitab fihrasat tidak
selalu sama. Sebagai misal, Muhammad al-Tuqadhiy menyusun Miftah
al-Shahihayn dengan hanya menulis hadis-hadis qawliyah (ucapan, statement)
saja, sementara hadis fi`liyah (perbuatan, tindakan) dan taqririyah
(persetujuan) tidak ditulis. Sementara itu, Ahmad al-Ghumariy al-Maghribiy
menulis buku Miftah al-Tartib li Ahadits Tarikh al-Khathib dengan memuat
baik hadis qawliyah maupun fi`liyah.
Meskipun penulisannya sama-sama
menggunakan model athraf secara alfabetis, namun sistematika yang
digunakan oleh para penulis tidak sama.
Contoh sistematika al-Tuqadhiy:
Pertama-pertama ditulis penggalan
pertama matan hadis (athrafiy), lalu di depan penggalan matan
tadi disebutkan judul kitab dan nomor bab di mana hadis itu dicatat (dalam al-shahihayn).
Sementara di belakang penggalan matan ditulis nomor juz/jilid/volume
dan nomor halaman, serta ditulis pula nomor juz dan nomor halaman kitab
syarah al-shahihayn (yakni al-Qasthalaniy, al-Asqalaniy dan al-`Ayniy)
di mana hadis yang dimaksud dikomentari.
Gambaran dalam bentuk tabel:
Nama Kitab
|
Nomor Bab
|
Matan Hadis
|
Pengarang
|
Kitab Syarah
|
||||||
Apa ?
|
Berapa ?
|
Bagaimana ?
|
Bukhari
|
`Ayniy
|
`Asqalaniy
|
Qasthalaniy
|
||||
juz
|
hal
|
juz
|
Hal
|
juz
|
hal
|
juz
|
hal
|
|||
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
Contoh sistematika al-Ghumariy:
Untuk hadis-hadis qawliyah,
pertama-tama disebutkan penggalan pertama matan hadis (athrafiy),
kemudian di depan penggalan matan tersebut ditulis nomor juz/jilid dan
nomor halaman.
Sementara untuk hadis-hadis fi`liyah,
disusun berdasarkan nama sahabat secara alfabetis, yakni: pertama-tama ditulis
nama sahabat, lalu di depannya disebutkan tema yang berkaitan dengan hadis
(yang dimuat), kemudian di depan tema hadis ditulis nomor juz/jilid dan
nomor halaman.
Kitab indeks hadis banyak ditulis oleh
para ulama hadis, di bawah ini adalah beberapa di antaranya:
- Miftah al-Shahihayn, kerja ilmiah Muhammad al-Syarif Ibn Mushthafa al-Tuqadhiy. Kitab ini berhasil diselesaikannya pada tahun 1312 H.
- Miftah al-Tartib li Ahadits Tarikh al-Khathib, buah pena al-Sayid Ahmad Ibn al-Sayid Muhammad Ibn al-Sayid al-Shiddiq al-Ghumariy al-Maghribiy. Kitab ini berisi 4504 hadis.
- Al-Bughyah fi Tartib Ahadits al-Hilyah, karya al-Ghumariy. Kitab ini merupakan buku indeks hadis-hadis yang terdapat pada kitab “Hilyat al-Awliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’”, karya Abu Nu`aym al-Ashbahaniy [w. 430 H].
- Fihris li Ahadits Shahih Muslim al-Qawliyah, buah karya Dr. Muhammad Fuad Abd al-Baqiy. Selain menulis indeks hadis Muslim, Abd al-Baqiy juga menulis indeks hadis-hadis dalam al-Muwaththa’ Imam Malik dan Sunan Ibn Majah,
Metode Istikhrajiy
Metode Istikhrajiy adalah sebuah metode takhrij hadis yang
populer pada paruh kedua abad keempat hingga memasuki pertengahan paruh kedua
abad kelima Hijrah. Mekanisme kerja metode ini adalah dengan menarik keluar
hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab hadis tertentu, kemudian hadis-hadis
tadi dibuatkan transmisi baru melalui orang yang menarik keluar hadis itu
dengan mengabaikan keberadaan peran penulis kitab. Pada titik tertentu
transmisi baru itu akan bertemu kembali dengan transmisi asal matan
hadis tersebut; bisa pada guru si penulis kitab atau pada rawiy
setelahnya. Metode ini paling tidak dapat mendeskripsikan jalur-jalur lain dari
suatu matan hadis untuk memperkuat keberadaannya. Proses kreatif ini
menghasilkan banyak karya tulis yang kelak dikenal dengan istilah “al-mustakhraj”,
bentuk pluralnya: “al-Mustakhrajat”.
Kitab-kitab “al-mustakhrajat”
dapat dikatakan sebagai anak kitab dari kitab-kitab yang ditarik hadis-hadisnya. Oleh karena itu,
sistematika dan corak kitab jenis ini sama dengan kitab induknya; baik dalam
susunan kitab dan bab, tata letak maupun kategorisasi hadisnya. Tetapi perlu
dicatat bahwa pola seperti tadi hanya pada kitab-kitab “al-mustakhrajat”
atas kitab berjenis “jami’”, sebab mustakhraj atas kitab-kitab “sunan”
dan yang lainnya disusun berbeda dari kitab induknya.
Berikut ini adalah kitab-kitab
berjenis “mustakhrajat”, antara lain:
- Al-Mustakhraj `ala al-Shahihayn:
a. karya Abu Nu`aym
al-Ashbahaniy [w. 430 H].
b. karya Ibn al-Akhram [w. 344
H].
c. karya Abu Bakr al-Barqaniy
[w. 425].
- Al-Mustakhraj `ala al-Jami` li al-Bukhariy:
a. karya al-Isma`iliy [w. 371
H].
b. karya al-Ghathrifiy [w. 377
H].
c. karya Ibn Abi Dzuhl [w. 378
H[.
- Al-Mustakhraj `ala al-Shahih li Muslim:
a. karya Abu `Awanah
al-Asfarayayniy [w. 310 H].
b. karya al-Hayiriy [w. 311 H].
c. karya Abu Hamid al-Harawiy
[w. 425 H].
- Al-Mustakhraj `ala Sunan Abi Dawud, karya Qasim Ibn Ashbagh.
- Al-Mustakhraj `ala Kitab all-Tawhid li Ibn Khuzaymah, hasil kerja Abu Nu`aym al-Ashbahaniy.
Metode Istidrakiy
Metode
Istidrakiy adalah metode takhrij yang dalam pelaksanaannya
mempertautkan matan-matan hadis yang diabaikan oleh penulis sebelumnya –
disengaja maupun tidak. Mekanismenya adalah dengan cara menisbahkan hadis-hadis
yang diabaikan tadi kepada kitab hadis hasil karya penulis tertentu. Pengguna
metode ini dalam menetapkan validitas suatu hadis menggunakan kriteria
sebagaimana yang ditetapkan oleh penulis tertentu tadi.
Produk dari metode ini adalah
kitab-kitab “al-mustadrak” (bentuk pluralnya: “al-Mustadrakat”). Al-Mustadrak
adalah karya kreatifitas ulama hadis pada periode keenam (yang dimulai pada
abad keempat Hijrah). Kitab jenis ini berjasa paling tidak dalam tiga hal,
yaitu:
-
pertama, menampilkan ragam
hadis yang – secara sengaja maupun tidak – diabaikan oleh para penulis kitab
sebelumnya;
-
kedua, menampakkan adanya
penuturan yang berbeda terhadap matan hadis tertentu; dan
-
ketiga, menunjukkan transmisi
hadis tertentu yang secara subyektif dinilai sahih oleh penulis mustadrak.
Kitab jenis mustadrak yang
paling populer – meskipun banyak mendapat kritik dari para pembelajar hadis –
adalah al-Mustadrak `ala al-Shahihayn karya Imam al-Hakim (w. 405
H)[10],
selain karya al-Hafizh Abd Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Malikiy yang lebih dikenal
dengan Abu Dzar al-Harawiy (w. 434 H)[11].
Metode Istiqra’iy
Mawdhu`iy
Metode Istiqra’iy Mawdhu`iy yakni metode takhrij melalui pencermatan
secara eksploratif dan integratif terhadap klausul dan makna intrinsik suatu
hadis. Kemudian – setelah berhasil ditarik simpul-simpul maknanya – hadis
tersebut dirujukkan kepada kitab-kitab hadis yang dinilai memiliki kapasitas
maksimal dalam membahas berbagai persoalan; atau kitab-kitab yang secara
spesifik membahas satu persoalan tertentu.
Kitab-kitab yang dapat dirujuk untuk
kepentingan kerja takhrij model ini, di antaranya adalah: kitab-kitab
berkategori: al-jawami` (bentuk tunggalnya: jami`), al-sunan,
al-mustakhrajat `ala al-jawami`, al-mustadrakat `ala al-jawami`, al-majami`,
al-zawa’id, al-mushannafat, al-muwaththa’at, al-ajza’
(mufrad-nya: juz’iy), dan al-targhib wa al-tarhib.
Metode Istiqra’iy Isnadiy wa Matniy
Metode Istiqra’iy Isnadiy wa Matniy ialah metode takhrij melalui pengamatan
dan pencermatan terhadap tanda-tanda lahir yang terdapat pada suatu hadis, baik
pada sanad (transmisi) maupun pada matan (pesan, informasi atau komunike)-nya.
Kemudian – setelah berhasil mengidentifikasi tanda-tanda tersebut – dilakukan
konfirmasi kepada kitab-kitab yang menurut pen-takhrij dapat memberikan
kepastian mengenai status hadis yang dimaksud.
Sebagai misal bila terjadi pada matan,
ketika berdasarkan pengamatan tertangkap adanya tanda-tanda kepalsuan pada
suatu matan hadis – gaya tuturnya rancu, maknanya rusak, atau
menyelisihi ayat Alquran yang telah
demikian jelas, dlsb – maka pen-takhrij mesti merujukkan hadis tersebut
kepada kitab-kitab yang secara ekslusif menulis hadis-hadis palsu, dan demikian
seterusnya.
Contoh lain bila terjadi pada sanad,
jika didapati dalam sebuah transmisi seorang ayah meriwayatkan hadis dari
anaknya, maka untuk memastikan benar dan tidaknya riwayat tersebut adalah
dengan merujuk pada – salah satunya – kitab “Riwayat al-Aba’ `an al-Ibna’i”,
dan demikian seterusnya.
E. Manfaat Tahrijul Hadits
Melihat kondisi hadits dari segi historisitasnya, hadits
adalah pusat perhatian yang mengundang para pemerhatinya untuk bersikap waspada
dalam memberlakukannya (menerima dan menyampaikannya), mengingat hadits baru
ditulis dan disusun secara resmi pada abad ke II H. Itu menunjukkan proses
panjang yang rentetan yang rekayasa didalamnya oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Kecuali itu munculnya kliasifikasi hadits menjadi shahih dan
tidak shahih (dla’if), kemudian muncul hadits hasan sebagai jawaban
atas problema yang terjadi diantara keduanya, bahkan hadits madlu’, juga
merupakan faktor lain yang membuat kita untuk berhati-hati terhadap hadits.
Untuk memperoleh hasil temuan yang dapat dipertanggung jawabkan itulah maka
diperlukan sebuah ilmu yang disebut dengan istilah Takhrij al-Hadits.
Takhrij sebagai ilmu perlu diketahui oleh setiap orang yang hendak mendapatkan hadits
dengan keadaan dan status yang jelas. Selanjutnya mengenai tujuan dan manfaat
takhrij hadits ini, ‘Abd al-Mahdi melihatnya secara terpisah antara satu dengan
yang lainnya. Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah
menunjukkan sumber hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits
tersebut. Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu :
1)
Untuk mengetahui sumber dari suatu hadits, dan
2)
Mengetahui kualitas dari suatu hadits, apakah dapat dtierima atau ditolak.
Sedangkan manfaat takhrij secara
umum banyak sekali, diantaranya :
- Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dari suatu hadits beserta ulama yang meriwayatkannya.
- Menambah pembendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang ditunjukkannya.
- Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahhui apakah munqathi’ atau lainnya.
- Memperjelas perawi hadits yang samar karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
- Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz dan yang dilakukan dengan makna saja.
- Dan lain-lain[12].
[1] Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat
al-Asanid, hal. 9, Maktabah al-Rasyid, Riyadh, Arab Saudi, 1983.
[2] Ibn Faris Ibn Zakariya, Abu al-Husayn Ibn Ahmad, Mu`jam
al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I,
hal. 313, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H/1994 M.
[3] __________________, ibid, hal. 16.
[4] Mahmud al-Thahhan, ibid, hal. 18-19; dan
Al-Mubarakfuriy, al-Imam al-Hafizh Abu al-Aliy Muhammad Ibn Abd al-Rahman Ibn
Abd al-Rahim, Muqaddimah Tuhfat al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi,
I:279-287, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
[5] Al-Mubarakfuriy, ibid, V.1, hal. hal.
281-286, Dar al-Fikr, tt.hal. 281-286.
[6] Perjalanan Imam
al-Syafi`i ke Bashrah untuk mengklarifikas
[7] Mahmud al-Thahhan, ibid,
hal. 40.
[8] Baca Mahmud al-Thahhan, ibid , hal. 91-105
[9] Al-Mubarakfuriy, ibid, V.1, hal. 71, Dar al-Fikr, tt.
[10] Dr. Shubhi Shalih, Ulum al-Hadits wa
Mushthalahuh, Cetakan ke-7, hal. 124, Dar al-Ilm li al-Malayin, Beirut,
1988; Sukardi, Mustadrak al-Hakim,
Makalah Diskusi pada Jurusan Tafsir Hadis STAI Persis Bandung, 2007.
[11] Al-Mubarakfuriy, ibid, V.1, hal.
94-95, Dar al-Fikr, tt.
[12] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia,
2010), Cet, I, hlm. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar