Senin, 31 Agustus 2009

Administrasi Peradilan Pidana Indonesia

Administrasi Peradilan Pidana Indonesia
I. Pendahuluan
Wacana tentang peradilan terpadu mengemukakan sehubungan dengan adanya TAP MPR-RI NO. VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2000. TAP MPR itu antara lain menekankan bahwa MA perlu melaksanakan asas-asas sistem peradilan terpadu. Peringatan ini menyadarkan kepada kita tentang kondisi obyektif sistem peradilan pidana yang tidak hanya terkesan fragmentaris dan berorientasi sektoral, tetapi juga cenderung mengganggu terhadap sistem secara keseluruhan.
Dalam sistem peradilan pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam menjunjung dan menegakan hukum, diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan. Keempat itupun seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dan sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.[1] Cakupan tugas dari sistem peradilan pidana ini memang luas karena didalamnya termasuk (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.[2]
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) memang diharapkan dapat menanggulangi masalah kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang Pengadilan dan diputuskan bersalah sehingga mendapat hukuman pidana. Agar dapat efektif dalam menanggulangi kejahatan, semua komponen dalam sistem ini diharapkan bekerja sama membentuk apa yang dikenal dengan nama “Integrated criminal justice system.” Hal ini jelas karena menurut Hyman Gross penanggulangan kejahatan sendiri mendapat tempat yang terpenting diantara berbagai persoalan yang menjadi perhatian pemerintah di setiap negara.[3]
Sistem peradilan pidana (terpadu)[4] bisa berdimensi internal maupun bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal apabila perhatian ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Sedangkan dimensi eksternal lebih karena kaitannya yang hampir tidak bisa dipisahkan dari sistem sosial yang lebih luas. Yang terakhir ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem peradilan dalam pencapaian tujuannya, termasuk di sini budaya hukum kekuasaan dan masyarakat, perkembangan politik, ekonomi, sosial, iptek, pendidikan dan sebagainya.[5] Contoh budaya hukum kekuasaan adalah kecenderungan terjadinya politisasi hukum atau instrumentalisasi hukum baik dalam proses pembuatan UU maupun dalam praktek penegakan hukum.
Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter sistem yang bersifat umum,[6] yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam kerangka itu secara internal sistem peradilan harus berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior), pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu.
Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (shared norms and values).[7] Sebagai contoh, adalah kenyataan bahwa sistem peradilan pidana selalu bekerja atas dasar sistem informasi yang berjenjang. Karena itu apabila muncul informasi yang menyesatkan akan dengan sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan, misalnya berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan. Untuk dapat mengevaluasi atau mengaudit sampai seberapa jauh sistem peradilan pidana sudah bekerja dengan baik, perlu dirumuskan indeks sistem peradilan pidana yang pada hakekatnya merupakan indikator kinerja sistem peradilan pidana, baik dalam tataran idiil, tataran asas maupun tataran operasional dan tataran penunjang.
Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu: keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi terpidana; keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya kejahatan; dan keberhasilan sistem peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Indeks pada tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM, berorientasi tidak hanya kepada model rehabilitatif tetapi juga kepada model restoratif.[8]
Pada level operasional, pelbagai indeks yang semakin konkrit mencakup antara lain; keberadaan “UU payung” (umbrella act) yang dapat menciptakan sinergi positif antar subsistem (semacam Wet RO, 1928 di masa lalu); berorientasi baik kepada tindak pidana; keterukunan dari clearance rate, conviction rate, rate of recall to prison. Selanjutnya juga tingkat terjadinya disparitas pidana, tersedianya pelbagai sistem sanksi pidana alternatif (restorative justice), dan tingkat kecepatan penanganan perkara baik di lingkungan subsistem maupun sistem secara keseluruhan.[9]
Pada tataran penunjang indeks terpenting nampak pada kualitas sumber daya manusia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan terorganisasi dengan baik, kepemimpinan yang bertanggungjawab, partisipasi masyarakat terhadap sistem peradilan pidana, dan sistem pelatihan terhadap antar penegak hukum.[10]

II. Pembahasan
Untuk membahas masalah sistem peradilan pidana terpadu, maka penulis mencoba mempersempit pembahasan hanya pada bidang pengadilan saja sebagai salah satu unsur sebagai sistem peradilan pidana. Penulis mencoba untuk mengkhususkan penulisan berkenaan dengan aspek peranan administrasi peradilan.
A. Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan bisa bermakna ganda. Pertama, bisa diartikan sebagai court administration, dalam arti pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan peradilan. Kedua, dalam arti administration of justice yang mencakup proses penanganan perkara (caseflow management) dan prosedur serta praktek litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power).[11] Kekuasaan mengadili ini berhubungan erat dengan proses penegakan hukum. Dua makna tersebut berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab yudisial yang mengandung tiga dimensi yaitu: (a) tanggung jawab administratif yang menuntut kualitas pengelolaan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial; (b) tanggung jawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acarayang digunakan; dan (c) tanggung jawab substantif yang yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku.[12] Tanggung jawab mengandung dimensi hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan atau akuntabilitas yang bisa bersifat responsif (peka terhadap kebutuhan masyarakat), bersifat representatif (yang menuntut sikap jujur dan tidak diskriminatif) dan bersifat ekonomis (kesadaran adanya pengawasan publik, khususnya berkaitan dengan dana-dana masyarakat yang digunakan).
Pada era reformasi, kewenangan penguasaan dua dimensi makna administrasi peradilan di atas sangat dipersoalkan (sampai saat ini implementasinya belum selesai) sebab berkaitan dengan kebiasaan kekuasaan di era Orde Baru yang sering mengooptasi kekuasaan kehakiman sehingga tidak pernah tumbuh sebagai lembaga independen. Padahal, independensinya lembaga kehakiman di negara manapun merupakan salah satu ukuran yang paling menonjol untuk melihat apakah sebuah sistem kekuasaan demokratis atau otoriter. Betapa pentingnya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka ini nampak dari pernyataan-pernyataan sebagai berikut[13] :
“The principle of complete independence of the judiciary from the executive is the foundation of many things in our island life…the judge has not only to do justice between man and man. He also has to do justice between the citizens and the state. He has to ensure that the administration conforms with the law and to adjudicate upon the legality of the exercise by the executive of its power.” (Sir Winston Churchill).
Fundamental rights and liberties can bet be preserved in a society where the legal profession and the judiciary enjoy freedom from interference and pressure (Louis Joined, UN Repporteur on the Independence of Judiciary).”
Atas dasar pengalaman dan praktek demokrasi di pelbagai negara, terdapat suatu hipotesa bahwa kualitas demokrasi suatu bangsa yang antara lain ditandai dengan menjunjung asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, akan lebih efektif daripada usaha untuk menghindari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif dengan cara menyatukan “administrasi peradilan” dan “kekuasaan pengadilan” dalam satu kekuasaan: Mahkamah Agung.[14] Pengalaman di Indonesia sejak kemerdekaan, kemudian disusul Orde Lama dan Orde Baru, menunjukkan bahwa Pemisahan dua kekuasaan tersebut di dua lembaga yaitu di lembaga eksekutif (Departemen Kehakiman, Departemen Hankam dan Departemen Agama) untuk aspek “administrasi peradilan” (organisasi, administrasi dan finansial) dan di lembaga yudikatif (Mahkamah Agung) untuk aspek judicial power, sangat rawan terhadap gangguan bagi asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.[15] Seperti yang diutarakan pada bagian awal, asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu karakteristik sistem peradilan terpadu pada tataran asas.
Dari uraian selanjutnya akan nampak bahwa mengingat budaya hukum demokrasi yang belum melembaga di Indonesia, maka menempatkan hukum sebagai instrumen (instrumentalisasi hukum) untuk melindungi kekuasaan kehakiman yang merdeka akan lebih efisien dan efektif daripada mempercayakan mekanisme perlindungannya kepada budaya hukum yang masih diragukan.[16] Dalam hal ini ada pendapat yang menarik, dan ada baiknya dikemukakan, yaitu usul perluasan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka agar diperluas mencakup perlindungan integritas keseluruhan sistem peradilan pidana yang mencakup independensi administrasi peradilan, termasuk independensi penyelidik, penyidik dan penuntut umum sebagai penegak hukum.[17]
Disamping keterkaitanya dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka baik buruknya kinerja administrasi peradilan akan merupakan variabel independen terhadap promosi dan perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana. Dalam hal ini penghayatan terhadap pedoman yang tersurat dan tersirat dalam pelbagai instrumen internasional tak dapat dihindarkan.
B. Fungsionalisasi Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan, baik dalam arti court administration maupun sebagai refleksi judicial power, hanya akan berperan maksimal dan bermakna terhadap sistem peradilan pidana terpadu apabila dapat mengelola jati dirinya sebagai pendukung prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berhasil mempromosikan serta melindungi HAM dalam administrasi peradilan pidana.[18]
Dalam konteks court administration guna menegakkan prinsip kekuasaan kehakimian yang merdeka di era reformasi, maka atas dasar amanat TAP MPR RI No. X/MPR/1998 yang mengamanatkan Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif dengan mengalihkan organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah departemen-departemen menjadi berada di bawah MA, maka diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004. Untuk pelaksanaannya secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak UU tersebut berlaku (31 Agustus 1999).[19]
Menyadari di masa lalu MA boleh dikatakan telah mengalami kerusakan sistemik, maka usaha untuk memperbaikinya harus dilakukan secara sistemik pula guna menyongsong dua wewenang yang dimasa datang akan berada di bawah kekuasaannya. Selanjutnya dalam ruang lingkup pemahaman administrasi peradilan sebagai administration of justice maka pengamanan harus dilakukan dengan melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan yang dapat mencederai integritas administrasi peradilan pidana tersebut.
Kelompok tindak pidana yang masuk kategori offences against the administration of justice antara lain mencakup tindak-tindak pidana seperti; menolak untuk membantu polisi, lari dari penjara, membuang atau menggelapkan alat atau barang bukti, menghalangi penahanan atau penuntutan, sumpah dan kesaksian palsu, menyampaikan bukti-bukti palsu, mempengaruhi saksi dan penyuapan (koruptif), menghambat atau mengganggu proses kesaksian, melakukan pembalasan terhadap saksi, melakukan intimidasi, menyuap untuk mempengaruhi pejabat pengadilan dengan tujuan untuk memaksa pejabat yang bersangkutan untuk tidak melakukan atau melakukan tugasnya secara tidak benar (termasuk pula di sini pejabat pengadilan yang menerima suap), melakukan pembalasan terhadap pejabat pengadilan sehubungan dengan pelaksanaan tugas pejabat yang lain, melakukan perbuatan tidak patut di depan pengadilan, dan merendahkan martabat pengadilan (contempt of court).[20]
Khusus mengenai promosi dan perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana, mencakup di dalamnya usaha untuk selalu mencapai atau mendekati standar umum kemajuan sebagaimana ditentukan oleh pelbagai instrumen internasional yang mencakup antara lain, penegakan persamaan hukum dan pencegahan diskriminasi baik secara tertulis maupun praktis, perlindungan asas legalitas, hak untuk hidup dan bebas dari pemidanaan yang kejam dan tidak biasa, hak-hak kebebasan dan hak terpidana (prisoners rights), hak untuk diadili secara adil, adminitrasi peradilan bagi anak remaja (Administration of Juvenile Justice), kekuasaan kehakiman yang merdeka; pelbagai Kode Etik untuk para penegak hukum; dan lain sebagainya.
C. Administrasi Peradilan dalam Proses Perkara Pidana
Apabila kita berbicara mengenai masalah administrasi, maka terdapat dua macam pengertian administrasi. Pertama; court administration, yang dalam hal ini berarti keadministrasian atau tertib administrasi yang harus dilaksanakan berkaitan dengan jalannya kasus tindak pidana dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pelaksanaan putusan dalam sistem peradilan pidana, dan kedua; administration of justice yang dalam hal ini dapat berarti segala hal yang mencakup tertib hukum pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara dan tata cara serta praktek litigasi[21]
Dua makna yang terkandung di dalam pengertian administrasi peradilan tersebut sangat berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab yudisial (judicial responsibility) yang mengandung tiga dimensi pertanggungjawaban, yaitu:[22]
1.Tanggung jawab administrasi (administrative responsibility);
2.Tanggung jawab prosedural (procedural responsibility), yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang dipergunakan;
3.Tanggung jawab substansi (substantif responsibility), yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku.
Berdasarkan pemahaman tentang administrasi tersebut, maka untuk mencapai tujuan yang demikian diperlukan suatu sistem dan manajemen yang mengatur sistem tersebut, terutama dalam hal ini berkaitan dengan wacana yang mengemuka yaitu mengenai penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Dan karena yang menjadi fokus perhatian tidak termasuk badan-badan di luar tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan tugas peradilan pidana, maka kemudian munculah istilah sistem peradilan pidana.[23]
Proses Perjalanan Perkara Pidana
a. Tahap Penyelidikan
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.[24] Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.[25] Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.[26]
Adapun bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana disebutkan dalam SK Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara:[27]
1. Laporan polisi;
2. Berita acara pemeriksaan polisi;
3. Laporan hasil penyelidikan;
4. Keterangan saksi/Saksi ahli; dan
5. Barang bukti.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada Penyidik

Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.[28] Selain itu penyelidik juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelompok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyelidik juga dapat membawa dan menghadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.

b. Tahap Penyidikan
Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing[29] (Belanda) dan investigation[30] (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia), KUHAP sendiri memberikan pengertian dalam Pasal 1 angka 2, sebagai berikut:

Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Penyidik yang dimaksud di dalam ketentuan KUHAP adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh UU. Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j KUHAP, yaitu ;
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana
2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.[31] Tiap kali penyidik melakukan tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut.
Apabila dalam penyidikan tersebut, tidak ditemukan bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.[32] Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya, sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP tentang praperadilan.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.

c. Tahap Penuntutan
Setelah proses penyidikan dilakukan maka penyidik melimpahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Ketika berkas perkara telah diterima oleh penuntut umum atau telah dianggap lengkap oleh penuntut umum maka telah masuk dalam penuntutan. Ketentuan dalam KUHAP memberikan batasan pengertian tentang penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7, yaitu:
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan.”
Penuntutan perkara dilakukan oleh Jaksa penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi wewenangnya, penuntut umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil peyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut diberitahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohonkan praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Penuntutan yang telah selesai dilakukan secepatnya harus segera dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri setempat, dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum diberi tanggal dan ditandatangani olehnya. Surat dakwaan tersebut berisikan identitas tersangka dan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan.
Dalam hal penuntut umum hendak mengubah surat dakwaan baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya, maka hal tersebut hanya dapat dilakukan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang.[33] Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.[34] Dalam hal penuntut umum melakukan perubahan surat dakwaan, maka turunan surat dakwaan disampaikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya dan penyidik.[35]

d. Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (tiga) orang.
Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya tidak diketahui.[36] Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Surat panggilan kepada terdakwa tersebut dilakukan dengan adanya surat tanda penerimaan. Hal ini penting untuk menentukan apakah terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut atau tidak.
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan tersebut dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir.
Terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, kemudian setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Namun apabila keberatan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.
Terhadap keputusan tersebut dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri. Dalam hal perlawanan diterima oleh pengadilan tinggi maka dalam waktu 14 (empat belas) hari, dalam surat penetapannya harus tertulis adanya pembatalan putusan pengadilan negeri tersebut dan memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan perkara tersebut.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif (negatif wettelijk).[37] Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:
1.Keterangan saksi;
2.Keterangan ahli;
3.Surat;
4.Petunjuk; dan
5.Keterangan terdakwa.
Disamping itu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga menganut minimum pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimum pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh keyakinan hakim.
Setelah pemeriksaan telah dilaksanakan, tuntutan pidana dan pembelaan telah diajukan dalam persidangan, maka tiba saatnya majelis hakim memberikan putusan. Putusan majelis hakim diambil dalam suatu musyawarah majelis hakim yang merupakan permufakatan bulat yang berhasil dicapai. Apabila kebulatan tidak dapat diperoleh maka didasarkan dengan suara terbanyak, apabila mekanisme tersebut masih belum dapat mencapai suara bulat, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan terdakwa.

e. Tahap Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap tersebut dilakukan dengan tetap memelihara perikemanusiaan dan perikeadilan dan dilaksanakan jaksa setelah menerima salinan surat putusan pengadilan yang disampaikan oleh panitera.
Dalam hal terpidana diputus hukuman mati oleh pengadilan, maka pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum dan berdasarkan ketentuan undang-undang. Pelaksanaan pidana mati ini telah diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer.[38]
Dalam hal terpidana diputus pidana penjara maka jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada lembaga pemasyarakatan.[39] Apabila terpidana dipidana penjara dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana penjara maka tata cara pelaksanaannya sesuai dengan UU No.12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam rangka pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan pidana, terhadap terpidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, maka pengawasan dan pengamatan termaksud dilakukan oleh seorang hakim yang ditunjuk dalam lingkup pengadilan yang menjadi cakupan peradilan umum. Hakim pengawas dan pengamat termaksud dipilih oleh Ketua Pengadilan untuk masa waktu dua tahun. Pengawasan yang dilakukan tersebut guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adapun pengamatan dilakukan dalam rangka mengumpulkan bahan penelitian guna ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan. Pengamatan juga dilakukan setelah narapidana selesai menjalani pidananya.

III. Kesimpulan
• Kualitas administrasi peradilan baik dalam bentuknya sebagai court administration maupun sebagai administration of justice dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power) sangat berarti bagi terciptanya sistem peradilan pidana terpadu.
• Untuk dapat berperan efektif dan maksimal terhadap sistem peradilan pidana terpadu, dua dimensi makna administrasi peradilan harus dapat mencerminkan pelbagai indeks sistem peradilan pidana terpadu pada umumnya baik yang berada pada tataran ideal, tataran asas, tataran operasional dan tataran penunjang, maupun promosi dan perindungan kekuasaan kehakiman yang mereka dan HAM pada khususnya.
• Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu, khususnya untuk menghindari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif, maka dua dimensi administrasi peradilan harus berada dalam satu kekuasaan yaitu MA. Dengan demikian UU No. 35 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 harus dilaksanakan secara sistematik dan konsisten.
• Untuk dapat menerima tugasnya yang berat dalam rangka menyatukan kekuasaan mengadili, dan court administration, MA dengan segala jajarannya harus membenahi diri secara sistematik yang mencakup perbaikan struktural, substantif, cultural, kepemimpinan, keterbukaan akan kritik dan peningkatan kesejahteraan pejabat-pejabat pengadilan.
• Mengingat makna dari administrasi peradilan yang mencakup pula “administration of justice” dalam arti luas, maka disamping dukungan legislasi yang memadai (UU No. 4/2004 dan kriminalisasi perbuatan yang mengganggu), diperlukan semangat para pemegang peran di dalamnya untuk memperluas pengertian “the independence of judiciary” menjadi “the independence of the administration of justice”.
• Disamping kualitas penguasaan konseptual, perlu diperhatikan pelbagai faktor-faktor decisive lain seperti kualitas perundang-undangan, ketersediaan prasarana penunjang, kualitas SDM, partisipasi masyarakat, kualitas kepemimpinan dibidang hukum, dan kondisi sosial ekonomi yang kondusif.

IV. Saran
Pemahaman tentang administrasi peradilan masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Ada baiknya pemerintah bersama lembaga yudikatif membuat suatu terobosan baru berupa kebijakan-kebijakan mengenai administrasi peradilan sehingga masyarakat luas pada umumnya dan kalangan praktisi hukum khususnya dapat memahami arti penting dari administrasi peradilan tersebut. Kebijakan-kebijakan dimaksud dapat saja berupa peraturan Perundang-undangan atau bentuk aturan hukum lainnya yang sesuai.

Daftar Pustaka
Adisoeryo, Soeparno. Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Administrasi Peradilan Sistem Peradilan Terpadu. Makalah disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Terpadu, Jakarta, 16 Juli 2002.
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kebijakan. Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2001.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press, 2005.
Gross, Hyman. “A Theory of Criminal,” dalam W. Friedman, Law in A Changing Society, ed.II. New York : ColumbiaUniversity, 1972.
Hamid, H. Hamrat dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan. Jakarta : Sinar Grafika, 1997.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8. LN No. 76 Tahun 1981. TLN No. 3209.
Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta : P3ES, 1990.
Mahendra, A.A. Oka. “Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia. vol. 1 No. 4, Desember 2004 : 25.
Mahfud, Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES, 1998.
Manan, Bagir. Sistem Peradilan Berwibawa. (Suatu Pencarian). Jakarta : Mahkamah Agung, 2004.
Morris, Norval. “Introduction”, dalam Criminal Justice in Asia, Quest for an Integrated Approach. Newyork : UNAFEI, 1982.
Muladi. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : The Habibie Center, 2002.
_____. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab. Jakarta : The Habibie Centre, 2002.
_____. Peranan Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman di Era Reformasi. Jakarta: The Habibie Centre, 2002.
Prinst, Darwan. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta: Djambatan, 1998.
Reksodiputro, Mardjono. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994.
Santoso, Topo Polisi dan Jaksa : Keterpaduan dan Pergulatan. Jakarta : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000.
Satriyo, Rudi. Pengawasan Bidang Administrasi Peradilan Dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan. (Makalah disampaikan dalam seminar dan lokakarya tentang Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia pada tanggal 30-31 Mei 2002).
Supriyanto, Hadi. “Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 1 No.1 Juli 2004: 1.

[1] Norval Morris, “Introduction”, dalam Criminal Justice in Asia, Quest for an Integrated Approach, (Newyork : UNAFEI, 1982), hal. 5.
[2] Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 140.
[3] Hyman Gross, “A Theory of Criminal,” dalam W. Friedman, Law in A Changing Society, ed.II, (New York : Columbia University, 1972), hal. 54.
[4] Menurut Hamrat Hamid dan Harun M. Husein menyatakan bahwa penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan setiap tahap berhubungan erat serta saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu proses penanganan perkara pidana dikatakan sebagai suatu integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu) yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan. H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997), hal. 43.
[5] Budaya hukum merupakan suatu konsep baru dimana budaya hukum ini, mempunyai kelebihan mampu menarik perhatian orang terhadap nilai-nilai yang berkait dengan hukum dan proses hukum. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta : P3ES, 1990), hal. 119.
[6] Dalam studi tentang hukum banyak identifikasi yang dapat diberikan sebagai sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak terlalu surut dan umum. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1998), hal. 19.
[7] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan dan Pergulatan, (Jakarta : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000), hal. 6.
[8] Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta : The Habibie Center, 2002), hal. 35.
[9] Ibid.
[10] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Jakarta : Mahkamah Agung, 2004), hal. 31-32.
[11] Muladi, op.cit, hal. 36
[12] Muladi, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung jawab, (Jakarta : The Habibie (entre, 2002), hal. 224.
[13] Seperit dikutip dalam Muladi, Demokratisasi, HAM, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Op.cit, hal. 37.
[14] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2005), hal. 234-241.
[15] Muladi, Peranan Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman di Era Reformasi. (Jakarta: The Habibie Centre, 2002), hal. 7-11.
[16] Daniel S. Lev, Op.cit, hal. 120
[17] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kebijakan, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2001), hal. 25-30.
[18]Ibid, hal. 49-50.
[19] A.A. Oka Mahendra, “Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 1 No. 4, Desember 2004 : 25. Lihat juga Hadi Supriyanto, “Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.1 Juli 2004: 1.
[20] Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 33-40.
[21]Muladi, Demokratisasi, HAM, dan Reformasi Hukum di Indonesia, op.cit, hal. 3.
[22]Ibid.
[23]Rudi Satriyo, Pengawasan Bidang Administrasi Peradilan Dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan (makalah disampaikan dalam seminar dan lokakarya tentang Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia pada tanggal 30-31 Mei 2002).
[24] Indonesia, UU Nomor 26 tahun 2000, Pasal 1 angka 5.
[25]Indonesia, Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, pasal 5.
[26] Ibid, pasal 17.
[27]Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998), hal. 30.
[28]Hal tertangkap tangan diatur dalam UU No.26 tahun 2000 Pasal 11 Ayat (4), bandingkan dengan Pasal 102 Ayat (2) Jo Pasal 5 Ayat (1) huruf b UU NO.8/1981.
[29]Menurut de Pinto, opsporing berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 121-122.
[30]Investigation is an examination for the purpose of discovering information about something (the new webster Dictionary).
[31]Soeparno Adisoeryo, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Administrasi Peradilan Sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Terpadu, Jakarta, 16 Juli 2002), hal. 13.
[32]Indonesia, UU Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, ps. 109 ayat (2).
[33]Ibid, ps 144 ayat 1.
[34]Ibid, ps 144 ayat 2.
[35]Ibid, ps 144 Ayat 3.
[36]Masalah pemanggilan ini diatur dalam Pasal 145 UU NO.8/1981, termasuk tata cara pemanggilan dalam hal terdakwa tidak ada maka panggilan disampaikan kepada kepala desa dalam daerah hukum tempat kediaman terakhir dimaksud. Dalam hal terdakwa berada dalam tahanan maka surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara.
[37] Andi Hamzah, Ibid, hal 262.
[38]Ibid, hal. 320.
[39]Ibid, hal. 319.

kontrak bisnis berkeadilan

Kontrak Bisnis Berkeadilan

A. KEMITRAAN (KONGSI, SYIRKAT)

* Kemitraan dua atau lebih orang yang secara bersama-sama menjalankan suatu usaha, khususnya usaha produksi sekunder (bukan produksi primer seperti pertanian dan peternakan).
* Ketersediaan modal tidak selalu dipersyaratkan.
* Bila ada modal yang dilibatkan, maka semua orang yang bermaksud melakukan kemitraan harus menyediakannya, walaupun dalam jumlah yang tidak sama.
* Nilai partisipasi uang ini (hanya dalam dinar emas atau dirham perak), secara proporsional, akan menjadi nilai saham masing-masing.
* Dengan keharusan semua mitra untuk terlibat dalam usaha model kemitraan ini tidak memungkinkan adanya peluang perampasan hak milik seseorang oleh orang lain.

Ada tiga hal pokok lain di dalam kontrak bisnis ini:
* Pertama, tidak mengenal hak mayoritas. Semua mitra memiliki hak kontraktual yang sepenuhnya sama terlepas dari nilai saham atau jumlah modal yang disetorkannya.
*Kedua, tidak dikenal istilah laba, apalagi deviden, yang dibagikan pada setiap akhir tahun. Yang ada di dalam kemitraan adalah pemilikan aset secara bersama, proporsional menurut saham yang disetorkan, dan setiap mitra berhak untuk meminta dilakukannya likuidasi atas aset bersama tersebut di setiap saat.
* Ketiga, bila salah satu mitra meninggal dunia maka kontrak dengan sendirinya berakhir.

Bentuk kontrak bisnis ini juga menghasilkan dua realitas berbeda:
* Pertama, hubungan buruh-majikan digantikan dengan model hubungan 'master-apprantice'. Gilda merupakan satuan usaha produksi yang cocok dengan bentuk kontrak bisnis ini.
* Kedua, tidak dikenal istilah 'investor tidur', karena dalam kontrak bisnis ini disyaratkan keterlibatan semua pihak secara adil.

B. KEAGENAN (PINJAMAN MODAL, QIRAD, MUDHARABAH)
Intinya adalah sebagai berikut:
* Kontrak kerjasama dagang antara dua pihak: yang satu adalah pemilik modal dan yang lain adalah pemilik tenaga yang akan bertindak sebagai Agen bagi pihak pertama.
* Pihak kedua menerima modal dari pihak pertama sebagai pinjaman dan akan membagikan keuntungan yang diperoleh dari usaha dagang yang menggunakan modal dari pihak pertama tersebut.

Kondisi-kondisi kontrak adalah sbb:
* Kontrak diawali dan diakhiri dalam bentuk tunai (Dinar Emas atau Dirham Perak), tidak dalam bentuk komoditas.
* Keuntungan dari usaha, bila diperoleh, dibagi berdasarkan proporsi yang disepakati sejak awal dan dituangkan dalam kontrak, misalnya 50:50 atau 45:55
* Kerugian dagang, bila terjadi, sepenuhnya (100%) ditanggung oleh pemilik modal.
* Tetapi kerugian yang ditimbulkan karena Agen menyimpang dari perjanjian, atau nilainya melebihi jumlah uang yang diperjanjikan, menjadi tanggungan pihak Agen.
* Kontrak tidak mensyaratkan suatu garansi apa pun dari pihak Agen kepada pemilik modal akan sukses atau tidaknya usaha bersangkutan.
* Tidak ada pembatasan kontrak atas dasar waktu tertentu, melainkan berdasarkan suatu siklus usaha.
* Keuntungan usaha tidak boleh digunakan oleh pihak Agen sampai semua milik investor telah dibayarkan.
Pengertian kontrak
Kontrak (perjanjian) adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal ". (Subekti, 1983:1).
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam Buku III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum.
Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang.
Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk hukum. Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum lainnya.
Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
1. Mengenai terjadinya perjanjian
Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).
2. Tentang akibat perjanjian
Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
3. Tentang isi perjanjian
Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan.
Dengan kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan bahwa :
"setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak.
Syarat Sahnya Kontrak
Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2. Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.
Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
4. Sebab yang dibolehkan
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.
KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis.
Penyusunan Kontrak
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.
Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prakontrak
a. Negosiasi;
b. Memorandum of Undersatnding (MoU);
c. Studi kelayakan;
d. Negosiasi (lanjutan).
2. Kontrak
a. Penulisan naskah awal;
b. Perbaikan naskah;
c. Penulisan naskah akhir;
d. Penandatanganan.
3. Pascakontrak
a. Pelaksanaan;
b. Penafsiran;
c. Penyelesaian sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.
Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis.
Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
(1) Judul;
(2) Pembukaan;
(3) Pihak-pihak;
(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);
(5) Isi;
(6) Penutupan.
Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli Sewa, Sewa Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement.
Berikutnya pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut :
Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.
Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual beli sebagai berikut :

1. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut penjual;
2. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut pembeli.
Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital). Contoh perumusannya seperti ini :
dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek .... tipe .... dengan ciri-ciri berikut ini : Engine No. .... Chasis ...., Tahun Pembuatan .... dan Faktur Kendaraan tertulis atas nama .... alamat .... dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirimuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya,

Demikianlah perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya atau kalau pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis pada penutupan. Misalnya :
Dibuat dan ditandatangani di .... pada hari ini .... tanggal .... Di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada). Dan akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.
Jika kontrak sudah ditandatangani berarti penyusunan sudah selesai tinggal pelaksanaannya di lapangan yang kadangkala isinya kurang jelas sehingga memerlukan penafsiran-penafsiran.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya untuk ALLAH SWT, karena Dia-lah Tuhan yang telah menurunkan agama, dan menciptakan alam raya yang kaya raya serta akal pikiran, panca indera dan hati nurani bagi manusia. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah untuk Nabi tercinta Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya, hingga akhir zaman.

Dengan keutamaan Allah, Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya, makalah yang berjudul “Riba’” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Tujuan utama menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat perkuliahan mata kuliah lembaga perekonomian umat, dan kami selaku pemakalah mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini, dan kami juga berharap saran dan kritik bapak demi kesempurnaan makalah.

Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan saya pemakalah umumnya.

Palembang, 27 juni 2009

Pemakalah

Pengertian Riba’

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Riba dalam pandangan agama

Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

1.Riba dalam Islam

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban.

a. Tahapan Diharamkannya Riba

Chapra (2000) menyebutkan dari beberapa literatur bahwa larangan riba muncul dalam Al-Quran pada empat kali penurunan wahyu/tahapan yang berbeda-beda.
Yang pertama

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”(Qs: Ar-Rum : 39) diturunkan di Mekah, menegaskan bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda. As-Shabuni (2003) menjelaskan menurut zhahirnya tidak isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba itu. Tetapi yang ada hanya isyarat akan kemurkaan Allah terhadap riba itu, di mana dinyatakan “Riba itu tidak ada pahalanya disisi Allah” Jadi dengan demikian, ayat ini baru berbentuk “Peringatan untuk supaya berhenti dari perbuatan riba (mau’izhah salbiyah)”.

Kedua

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa : 161), diturunkan pada masa permulaan periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya pada kitab-kitab terdahulu. Pada tahap kedua ini, Al-Quran menyejajarkan orang yang mengambil riba dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang amat pedih.
Ash-Shabuni (2003) menjelaskan ayat ini merupakan pelajaran yang dikisahkan Allah kepada kita tentang perilaku Yahudi yang dilarang memakan riba, tetapi justru mereka memakannya, bahkan menghalalkannya. Maka sebagai akibat dari itu semua, mereka ini mendapat laknat dan kemurkaan dari Allah. Jadi larangan riba di sini baru berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan. Sebab ini adalah kisah Yahudi yang bukan merupakan dalil qath’i, bahwa riba itu diharamkan atas orang-orang Islam. Ini sama dengan larangan arak dalam periode kedua, yaitu : “Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi, maka jawablah : bahwa pada keduanya itu ada dosa yang besar, di samping juga banyak manfaatnya bagi manusia”. (2:219). Larangan di sini berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan.

Ketiga

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. ”Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir” ”Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat”. (QS: Ali-Imran : 130-132), diturunkan kira-kira tahun kedua atau ketiga hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang sebenarnya). Ash-Shabuni (2003) mengatakan lebih lanjut bahwa ini merupakan larangan secara tegas. Tetapi larangan (haramnya) di sini, baru bersifat juz’iy (sebagian), belum kulliy (menyeluruh). Karena haramnya di sini adalah satu macam dari riba yang ada, yang disebut “riba fahisy” (riba yang paling keji), yaitu bentuk suatu bentuk riba yang paling jahat, di mana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh orang yang mengutanginya itu, yang justru dia berhutang karena butuh atau terpaksa. Ini sama dengan diharamkannya arak pada periode ke tiga, yang haramnya itu juga baru bersifat juz’iy bukan kulliy. Yakni masih terbatas pada waktu-waktu shalat, seperti yang difirmankan Allah :

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, padahal kamu sedang mabuk, hingga kamu sadar akan apa yang kamu katakan,” (An-Nisa : 42)

Wahyu keempat

“ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

“ Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya. (QS: Al-Baqarah : 275-281), diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah SAW, mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan. Dalam ayat ini Ash-Shabuni memastikan bahwa riba itu telah diharamkan secara menyeluruh (kulliy), di mana pada periode ini Al-Quran sudah tidak lagi membedakan banyak dan sedikit. Dan ini adalah merupakan ayat yang terakhir turunnya, yang berarti merupakan syariat yang terakhir pula. Yaitu firman Allah yang mengatakan:

“Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba…” (Al-Baqarah : 278) Ayat-ayat ini merupakan tahap terakhir tentang diharamkannya riba, sama dengan tahap terakhir tentang diharamkannya arak, dan merupakan larangan yang tegas :

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan undian, adalah najis yang berasal dari perbuatan syetan. Oleh karena itu jauhilah dia supaya kamu berutang.” (Al-Maidah : 93)

b. Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

  • Riba Qardh
    • Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
  • Riba Jahiliyyah
    • Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
  • Riba Fadhl
    • Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
  • Riba Nasi’ah
    • Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

2. Riba dalam agama Yahudi

Agama Yahudi melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undangTalmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”

a. Konsep Bunga di Kalangan Kristen

Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.” Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

b. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)

Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.

St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).

c. Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut

Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.

d.Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)

Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : “Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan”. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

e. Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)

Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).

Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:

  • Dosa apabila bunga memberatkan.
  • Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
  • Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
  • Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

3. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang

Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.

  1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
  2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.

Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

4. Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang

Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.

5. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut. SISTEM BUNGA / Bagi Hasil

  • Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung / Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
  • Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. / Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
  • Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. / Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
  • Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”. /Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
  • Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan. / Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.