Selasa, 15 September 2009

ADMINISTRASI ISLAM

ADMINISTRASI ISLAM

PENDAHULUAN
administrasi merupakan prioritas pertama yang mesti disiapkan bagi orang yang bepergian ke luar negeri: Pasport, visa, fiskal, sejumlah uang dll. Tetapi jarang kita memperhatikan administrasi untuk meninggalkan dunia. Padahal jika direnungi, ke luar negeri saja administrasi merupakan prioritas, apalagi bagi yang hendak pergi ke dunia lain (the day after) semestinya lebih diprioritaskan. Padahal meskipun tidak setiap orang mampu terbang ke luar negeri, tapi bermigrasi ke luar dunia sesuatu yang pasti terjadi. Karena itu mestilah memiliki kelengkapan administrasi untuk kelancaran migrasi. Apa sajakah administrasi untuk bepergian ke dunia lai (the day after/akherat) itu?
Administrasi diriJika KTP dunia ada no kode yang hanya dimengerti oleh komputer, maka administrasi versi Tuhan pasti lebih canggih dan juga memiliki kode tertentu yang berbeda pada tiap individu. Contoh yang lahir adalah sidik jari. Antara jari si sidik dengan jari penyidik pasti berbeda pola. Begitupula gen baawaan yang tersimpul dalam jaringan kromosom (DNA), konon, setiap manusia membawa sifat bawaan (keturunan) baik yang dominan maupun resesif dari orang tuanya.
“…sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (Ali Imran: 195). “… dan Kami (Allah) tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, …. (Al Hajj: 5).
Sebagaimana juga di dalam KTP tertulis alamat, maka setiap diri manusia pun ada “alamat” yang tidak akan sama meskipun dalam satu rumah, satu keturunan bahkan satu kembar identik. Dalam pengetahuan modern ada DNA (faktor turunan) dan sidik jari merupakan identitas diri yang tidak mungkin bisa tertukar dengan yang lainnya. Manusia keturunan Nabi Adam as, pasti berbeda antara sidik jari dengan DNAnya. Pendeknya, “KTP” pribadi sudah dibuat oleh Tuhan dengan sendirinya tanpa diurus, dan sudah jadi dengan sendirinya.
Administrasi KolektifSaat menjadi sebuah pegawai kita mengenal ada ID Card atau kartu anggota. Misalnya, NIP untuk pegawai negeri, NIM untuk mahasiswa, NRP untuk angkatan bersenjata dan kepolisian, Press Card untuk jurnalist. Begitu pula komunitas karyawan perusahaan tertentu dibuatkan tanda pengenal berupa ID Card. Semua ini tentu diamksudkan sebagai bagian dari pengadministrasian. Jadi, sesutu yang mutlak sebab memudahkan dan menjadi rapih dalam pengaturannya.
Demikian pula dalam bidang keagamaan. Administrasi kolektif ini bisa ditemui dengan berbagai macam golongan. Dalam Al Qur’an kita mengenal ungkapan Muttakin, Mukmin, Muslim, Munafik, kafir, fasik dll. Kesemuanya itu ada registrasinya. Puluhan ayat bisa di search dalam Al Qur’an dan hadits. Semuanya tercetak dan terpola “nomor registrasinya” pada hati, pikiran dan perbuatan sehari-hari. Seperti ID Card tercetak pula pada selembar kertas/plastik. Sebagaimana administrasi keduniaan, kadang kita pindah perusahaan atau kepegawaian, maka dengan otomatis, ID cardnya pun berubah. beditupul dalam urusan administrasi ucapan dan perbuatan, kita pun kadang bisa bermigrasi. Misalnya Muttaqin, munafik, muslim, mukmin atau kafir. Kita bisa berpindah dari satu ke yang lain, tanpa mengurus admistrasinya. Sebab malaikat Rakib dan Atid merupakan asisten yang akan senantiasa mengadministrasi segala ucapan (dan tulisan kita).
•        

” Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18).

Di samping ucapan, malaikatpun mengadministrasikan perbuatan-perbuatan manusia.
•          

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Infithaar: 10-12)
Dalam istilah agama, jika orang yang bertobat lalu istiqomah menjalankan registrasi (ciri) golongan (komuniti) lain, maka kita masuk dalam golongannya. Barangkali, inilah yang tersebut dalam sebuah ungkapan:
   •  •        

“Man tasyabbaha biqoumin fahua minum” Siapa yang berprilaku meniru suatu tingkah laku “komunity” lain, maka ia masuk di dalamnya. Malaikat saja sebagai petugas administrasi mengetahui ucapan dan perbuata kita, Allah apalagi. Ia mengetahui apa-apa yang ada di hati (Al Hadid:6), pikiran dan perbuatan.


Rekayasa Administrasi
Konon, jika di dunia ada istilah rekayasa administrasi misalnya merubah umur, alamat atau tanda tangan, maka dalam kehidupan akherat takkan bisa mengelak. Karena disamping malaikat sebagai saksi administrasi, segala anggota badan seperti kulit, tangan dan kaki pun bisa menjadi “saksi administrasi”. “pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An Nuur: 24) atau dalam ayat lain: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Yasin:65)
Akhirnya, administrasi merupakan sebuah sunnatullah (hal yang alami), maka tidak ada beda antara administrasi dunia dan akherat dalam hal penatalaksanaanya. Namun adminisrasi akherat lebih canggih, dan sempurna karena tidak bisa dibohongi. Sehinggalah sebaik-baik manusia adalah orang yang tertib (jujur) secara administrasi baik di dunia maupun di akherat. Wallahu a’lam.

1.1 Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang kompleks, hal ini terlihat dari berbagai macam hal kehidupan masyarakat di urusi. Dan juga luasnya konteks kajian hukum Islam, antara lain masalah politik, ekonomi, kebudayaan, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Diantara sekian banyak hal yang diatur dalam Islam, masalah ekonomi yang begitu lekat dan sangat dibutuhkan oleh umat. Selain itu juga dalam beberapa tahun terakhir ini masalah ekomoni hangat dibicarakan. Dari masalah ekonomi umat, keuangan syari;ah, perbankan syari’ah dan lain sebagainya.

1.2 Permasalahan
Dari seluruh aspek kajian ekonomi yang dibahas dalam konteks syari’ah, masalah Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) yang paling banyak dibahas. Karenanya banyak masyarakat yang bertanya-tanya bagiamana dasar-dasar hukum serta tata cara pelaksaannya didalam masyarakat tentang Lembaga Keungan Syari’ah (LKS) ini. Hal ini dipertanyakan oleh masyarakat karena masyarakat banyak yang tidak tahu serta kurang kemengertian mereka akan dasar-dasar fundamental lembaga keungan syari’ah serta pengelolaan yang berdasarkan pada prinsip syari’ah.

1.3 Tujuan Penulisan
Dari masalah diatas penulis lihat bahwa banyak masyarakat yang kurang tahu dan ingin mengetahui akan dasar-dasar fundamental lembaga keungan syari’ah, serta aplikasinya dilapangan. Oleh karena itulah penulis membahas masalah ini.


PEMBAHASAN
2.1 Lembaga Keuangan Syari’ah
Lembaga Keuangan Syari’ah merupakan perwujudan dan aplikasi dari dasar-dasar Al-Quran dan Hadits yang memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan masalah perekonomian. Hal ini terlihat dari semakin berkembangnya masyarakat dalam perekonomian. Guna menyelaraskan akan kebutuhan yang ada pada masyarakat serta pengaplikasian dari dasar-dasar fundamental dalam Islam (Al-Quran dan Hadits). Antara lain:
1. lembaga Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf.
2. Baitul Maal Wattamwil
3. Asuransi syari’ah
4. Perbankan Syari’ah
5. Reksadan Syari’ah
6. Pasar Modal Syari’ah
7. Pegadaian Syari’ah (Sudarsono, 2007: 8)
Dari lembaga-lembaga tersebut, yang harus di perhatikan adalah sistem operasional dan pengelolaan harus berdasarkan akan dasar-dasar fundamental dalam Islam (Al-Quran dan Hadits). Karenanya untuk kenyamanan serta kesejahteraan umat yang berasaskan Islam.
2.2 Dasar-Dasar Lembaga Keuangan Syari’ah
Melihat dari konsep awal dari profil Lembaga Keuangan Syari’ah yaitu guna mencapai kesejahteraan umat yang berlandaskan akan syari’at Islam maka sewajarnyalah kita harus mengetahui akan dasar-dasar fundamental Lembaga Keuangan Syari’ah dalam Islam selain Al-Quran dan Hadits ada beberapa rujukan yang menyangkut akan dasar-dasar fundamental dalam Islam, yaitu Ijma Ulama, serta Fatwa dari para ulama.
Adapun dalil yang ada di dalam Al-Quran dan Hadits akan diperincikan sebagai berikut:

1. Q.S Al- A’raf: 10
 •      •   •  

Artinya:
“Sesungguhnya kami Telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. amat sedikitlah kamu bersyukur.”

2. Q.S Al- Mulk: 15
               

Artinya:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.

3. Q.S An- Naba’: 11
 •  

Artinya:
“Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,”

4. Q.S Al- Jumu’ah: 11
    •                   

Artinya:
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

5. Dan juga hadist Nabi yang mana artinya: “Ketahuilah bahwa jika dia berusaha (mendapatkan rezeki) untuk keperluan kedua orang tuanya atau salah seorang dari mereka, maka dia berusaha karena Allah. Jika dia berusaha untuk mendapatkan rezeki guna kepentingan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, dia berusaha karena Allah. Bahkan jika dia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, dia berusaha karena Allah. Allah Maha Besar dan Maha Agung.” (Suhrawardi, 2004: 2).
Dalil-dalil diatas menunjukkan tentang keutamaan serta keahrusan serta perintah Allah dan Rosulnya bagi kuam muslimin dalam melakukan tindakan perekonomian serta usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup baik secara individual maupun secara mandiri (lembaga atau sendiri). Akan tetapi dalil diatas hanya untuk secara global serta ada sinyal bahwa kelihatan untuk kepentingan duniawi semata. Akan tetapi disisi lain Allah memerintahkan pula untuk mencari rezeki guna kepentingan akhirat manusia. Antara lain dalam dalil sebagai berikut:

1. Q.S An- Najm: 29
  •         

Artinya:
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.”

2. Q.S As-Syurah: 20
      
Artinya:
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”
3. Q.S Muhammad: 12
•       •             •   

Artinya:
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.”
4. Dan didalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Muhammad Nejatullah Ash Siddqi (1991:9) dikemukakan, “Demi Allah, aku tidak mengkhawatirkan kemiskinanmu, tetapi lebih mengkhawatirkan akan kemewahan duniawi yang kamu peroleh. Lalu kamu saling berlomba mengadakan persaingan di antara sesamamu sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang sebelum kamu dan telah diberikan kemewahan juga. Hal ini akan membinasakan kamu sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” (Suhrawardi, 2004: 3).
Dari penelasan diatas maka akan terlihat bahwa Islam dalam ajarannya bukan hanya mengurusi masalah akhirat saja akan tetapi seimbang antara akhirat serta duniawi. Serta juga dalam masalah ekonomi Islam sangat mengatur umatnya serta menyuruh umatnya dalam menjalankan roda peronomian.

KESIMPULAN
Setelah kita mengenal dan mempelajari tentang dasar-dasar fundamental Lembaga Keuangan Syari’ah maka kita akan melihat bahwa system keuangan dalam Islam juga ikut diatur. Serta bukan hanya pengaturan pada individu saja melainkan juga pada setiap lembaga yang ada dalam konteks kajian ekonomi syari’ah. Dan dari beberapa dalil yang ada terlihat bahwa Islam sangat mengatur dalam kajian Ekonomi Umat serta Lembaga Keuangan Syari’ah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Nur Karim
Al-Hadis
Lubis, Suhrawardi, K. 2004. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad. 2007. Lembaga Ekonomi Syari’ah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sabiq, Sayyiq. 1987. Fiqh Sunnah Jilid 12. Bandung: Alma’arif.Sudarsono, Heri. 2007. Bank dan Lembaga Keungan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia.
Budi otomo, Sutiawan. Manajemen Efektif Dana Wakaf Produktif. 2001
Agustino, Wakaf Tunai Untuk Pemberdayaan Ekonomia Umat. 2002

Justifikasi Pemungutan Pajak, Hukum Sanksi dan Hutang Pajak

Justifikasi Pemungutan Pajak, Hukum Sanksi dan Hutang Pajak
Dalam berbagai literatur llmu Keuangan Negara dan Pengantar llmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan. Pada umumnya pajak digolongkan atas beberapa bagian seperti Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, penggolongan pajak pusat dan pajak daerah, menurut golongan pajak, pajak subjektif dan objektif serta menurut pajak pribadi atau menurut pajak kebendaan. OECD juga membuat penggolongan tersendiri atas kriteria tertentu.
Prinsip Pemungutan Pajak
Mengapa fiskus suatu negara berhak memungut pajak dari penduduknya?. Menurut teori asuransi, fiskus berhak memungut pajak dari penduduknya, karena negara dianggap identik dengan perusahaan asuransi, dan wajib pajak adalah tertanggung yang wajib membayar premi dalam hal ini pajak. Negara yang berhak memungut pajak itu, menurut penganut teori ini, melindungi segenap rakyatnya.Namun teori ini mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain dengan eksistensi imbalan yang akan diberikan negara jika tertanggung dalam hal ini wajib pajak menderita risiko. Sebab sebagaimana kenyataannya, negara tidak pernah memberi uang santunan kepada wajib pajak yang tertimpa musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak, maka hal itu sebenarnya bertentangan dengan unsur dalam definisi pajak itu sendiri. Para penganut teori ini mengatakan, bahwa negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara tersebut mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan penduduk kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya.
Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi negara untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi penduduknya. Jika misalnya di suatu RT (Rukun Tetangga) terjadi kebakaran, apakah hanya mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas mobil kebakaran? Di samping itu jika ditinjau dari unsur definisi pajak, maka adanya hubungan langsung atau kontraprestasi (dalam hal ini kepentingan wajib pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
Adapun teori bakti dapat dikatakan sama dengan teori kedaulatan negara pada mata kuliah Pengantar llmu Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada negara, karena negara sebagai suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataan. Teori bakti mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu negara; penduduk terikat pada keberadaan negara, karenanya penduduk wajib membayar pajak, wajib berbakti kepada negara. Penganut teori bakti menganjurkan untuk membayar pajak kepada negara dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang menjadi dasar bagi negara untuk memungut pajak. Karena organisasi atau lembaga yakni negara telah ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara mutlak membayar pajak, wajib berbakti kepada negara.
Selain itu ada pula yang disebut dengan teori daya pikul sebenarnya tidak memberikan jawaban atas justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya mengusulkan supaya dalam memungut pajak pemerintah harus memperhatikan daya pikul dari wajib pajak. Jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya. Ajaran teori ini ternyata masih dapat bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif pajak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut penghasilan tidak kena pajak, minimum kehidupan atau pendapatan bebas pajak minimum of subsistence.
Sistem Perpajakan Ludwig von Bertalanffy, seorang biopsikologi bangsa Jerman yang menulis General System Theory pada tahun 1950-an mengemukakan bahwa semua fenomena mempunyai hubungan seperti dalam ilmu alam: ada organ, sel dan mulekul. Suatu masyarakat terdiri dari suprasistem, sistem dan subsistem.
Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan negara, maka negara adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara adalah sistem dan perpajakan adalah subsistem Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah sistem dan pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem. Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal Self Asssessment System, Official Assessment System dan Withholding tax System.
Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya
Withholding tax system adalah suatu sistem perpajakan dimana pihak ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau diberdayakan (empowerment) oleh undang-undang perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian persen dari penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak.
Official Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada dipihak fiskus.
Tarif Pajak
Dalam berbagai literatur perpajakan dikenal lima macam tarif pajak yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif progresif (progressive rate), tarif regresif (regressive rate) dan tarif degresif (degressive rate).
Tarif tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dollar) bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya jumlahnya berbeda-beda. Misalnya tarif Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Jumlah Bea Meterai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp1.000.000,- adalah Rp6.000,- Walaupun uang yang diterima besarnya Rp100.000.000,- atau Rp10.000.000.000,- dan seterusnya, jumlah Bea Meterai yang terutang tetap Rp6.000,-
Sedangkan yang dimaksud dengan tarif proporsional adalah tarif yang prosentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Misalnya tarif PPN 10% atas Rp100.000,- 10% atas Rp50.000.000,- 10% atas Rp10.000.000.000,-
Tarif Pajak yang bersifat progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, maka makin tinggi pula prosentase tarif pajaknya. Misalnya tarif Pajak Pendapatan tahun 1944, Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Adapun tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajak, maka makin rendah prosentase tarifnya. Sedangkan tarif Pajak Degresif adalah tarif pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil.

Hukum Pajak
Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.

Sanksi Pajak
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu a). Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn; b). Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan c). Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.

Hutang Pajak
Menurut faham formal utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Dalam contoh di atas, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP.
Menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang tersebut disebut sebagai tatbestand. Misalnya syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut UU PPh 2000 antara lain :
Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak’.

Hukum Humaniter Hak Asasi Manusia Internasional

Mengapa saya menulis resume ini? Jawabannya sederhanya saja; karena banyak yang masih tidak tahu kurang jelas dan sering menyalah-artikan dan menyamakan Hukum Humaniter ini dengan cabang-cabang Hukum Internasional lainnya. Nah, cabang-cabang Hukum Internasional yang sering ‘dipersaudarakan’ dengan Hukum Humaniter itu adalah Hukum Gencatan Senjata (Disarmament Law); ketentuan-ketentuan mengenai konsep ‘ius ad bellum’ atau keabsahan suatu negara untuk menggunakan kekerasan bersenjata (the legality of the use of force); dan last but not least, the most popular one, adalah Hukum Hak Asasi Manusia Internasional (International Human Rights Law). Padahal ke empat nya adalah cabang-cabang ilmu dari Hukum Internasional yang memiliki kekhasan masing-masing. Cobalah perhatikan skema berikut ini :
Jika kita perhatikan skema di samping, maka kita sekilas dapat melihat bahwa keempatnya berbeda, baik dari segi penerapannya, para pihak yang terlibat di dalamnya dan tentu saja dasar hukumnya, sehingga banyak pendapat yang saling tumpang tindih. Hal ini tidak mengherankan karena keempat cabang ilmu tersebuti ternyata berkaitan dengan persoalan senjata (weapons) yang ketika digunakan dalam peperangan akan merenggut hak asasi manusia yang paling utama yaitu hak untuk hidup (the right to life)…
Masih kurang jelas? Begini… misalnya, mengapa Hukum Humaniter sering ‘dipersamakan’ dengan Hukum HAM Internasional ? Itu karena banyak yang berpikir sederhana saja, yakni : bagaimana perlindungan hak untuk hidup ketika terjadi perang? … bukankah peperangan itu sejatinya dapat menewaskan ribuan hingga jutaan manusia dalam satu waktu? … apakah ada hak untuk hidup ketika terjadi perang? … dstnya… Sedangkan mereka yang menyamakan Hukum Humaniter dengan Hukum Gencatan Senjata sering bertanya-tanya : apakah Hukum Gencatan Senjata berlaku ketika terjadi gencatan senjata pada waktu perang? … bukankah Hukum Gencatan Senjata mengatur tentang gencatan senjata?… tapi yang berpikir kritis akan balik bertanya, mengapa istilahnya Hukum Gencatan Senjata? … mengapa bukan Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata, atau Hukum Humaniter…? Nah, makin pusing kan… Adapun mereka yang sudah ‘familiar’ dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), khususnya tingkah polah si Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council), tentunya punya pertanyaan sendiri seperti : apakah suatu peperangan dapat dibenarkan secara hukum oleh DK PBB…? kalau perang merupakan tindakan yang ilegal, mengapa ada aturannya… ? Jika DK PBB mengeluarkan suatu resolusi, apakah hal tersebut berdasarkan Hukum Humaniter…? dan mungkin masih banyak pertanyaan lainnya. Nah, supaya pengertian ke empat cabang ilmu hukum tersebut tidak ‘tertukar posisinya’ satu sama lain, dengan adanya pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka ikuti penjelasan berikut ini.
Agar kita menjadi yakin bahwa ke tiga cabang hukum tersebut berbeda dengan Hukum Humaniter, maka pertama kali, mari kita coba bedakan dari sudut dasar hukum (legal basis) nya, apakah dasar hukum ke tiga cabang hukum tersebut.
A. Hukum HAM Internasional
Hukum HAM Internasional memiliki seperangkat instrumen pokok yang melandasi perkembangan pengaturan HAM, baik secara internasional maupun secara regional. Instrumen pokok tersebut dikenal dengan sebutan “the International Bill of Human Rights”, yang terdiri dari :
1. Universal Declaration of Human Rights (UDHR), 10 Desember 1948
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), 16 Desember 1966.
3. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 16 Desember 1966 beserta dua Optional Protokolnya, yaitu:
• 1st Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights;
• 2nd Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolision of the death penalty.
Di samping instrumen pokok tersebut di atas, masih banyak instrumen hukum ham internasional yang lainnya seperti : Convention against Torture (CAT) 1984, Convention on the Rights of the Child (CRC) 1989, Convention on the Elimination of all forms of Discrimination against Women (CEDAW) 1979, dan lain-lain.
B. Hukum Gencatan Senjata
Hukum Gencatan Senjata sebagian besar didasarkan kepada seperangkat perjanjian multilateral yang mengatur mengenai pemusnahan senjata-senjata perusak massal (Weapons of Mass Destruction/WMD), serta pembatasan jenis-jenis senjata konvensional tertentu. Menurut Sergio Duarte, perwakilan untuk masalah-masalah gencatan senjata di Perserikatan Bangsa-bangsa, dasar hukum utama yang dipergunakan dalam Hukum Gencatan Senjata adalah :
1. Non-Proliferation Treaty (NPT); demikian pula perjanjian-perjanjian regional yang membentuk zona bebas senjata nuklir (’nuclear weapons free zone’);
2. Perjanjian-perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Rusia, termasuk Strategic Offensive Reductions Treaty and the Strategic Arms Reduction Treaty (START-I);
3. Perjanjian-perjanjian yang mengatur senjata pemusnal massal lainnya seperti Konvensi Senjata-senjata Biologi (Biological and Toxin Weapons Convention, atau disebut pula Biological Weapons Convention), 10 April 1972 dan Konvensi Senjata-senjata Kimia (Chemical Weapons Convention), 13 Januari 1993.
C. Dasar hukum bagi legalitas suatu negara untuk berperang
Pada bagian ini, kita sedang membicarakan konsep “ius ad bellum”, yang pada hakekatnya mempertanyakan apakah legalitas bagi suatu negara yang akan melakukan perang; atau dengan kata lain apa dasar justifikasi untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal ini, legalitas tersebut tidak kita dapatkan di dalam perjanjian-perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam Hukum Humaniter, akan tetapi kita akan menemukan adanya pembenaran (justifikasi) secara hukum bagi suatu negara untuk berperang di dalam Piagam PBB, khususnya pada Bab VII, di mana Dewan Keamanan dapat melakukan tindakan-tindakan militer tertentu sehubungan dengan adanya suatu “ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, serta adanya tindak pidana agresi”. Hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Bab VII Piagam PBB inilah maka tindakan suatu negara untuk mengangkat senjata dapat dibenarkan secara hukum ataukah tidak.
D. Hukum Humaniter
Dasar utama bagi Hukum Humaniter adalah hukum Den Haag dan Hukum Jenewa; yakni seperangkat Konvensi-konvensi Den Haag hasil dari Konferensi Perdamaian I dan II, serta Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 beserta kedua Protokol Tambahannya tahun 1977.
Nah, setelah melihat uraian di atas, ternyata jelas bahwa dasar hukum dari ke tiga cabang ilmu tersebut ternyata berbeda. Tidak satupun diantaranya yang bersinggungan dengan ‘the hague laws’ maupun ‘the geneva laws’. Hal ini berarti kurang benar menyamakan ke tiga hukum tersebut dengan Hukum Humaniter, walaupun memang masing-masing ada hubungannya dengan masalah persenjataan.
Upaya ke dua untuk meyakinkan bahwa ke tiga cabang hukum tersebut berbeda dengan Hukum Humaniter, adalah dengan melihat siapa para pihak yang terlibat di dalamnya. Dengan perkataan lain, kita berusaha untuk menentukan hak dan kewajiban yang dibebankan kepada para pihak.
A. Hukum HAM Internasional
Permasalahan HAM selalu membicarakan antara negara di satu pihak, dengan warga negara di lain pihak, masing-masing dengan hak dan kewajibannya sendiri-sendiri. Konstruksi ini menggambarkan adanya hubungan yang bersifat vertikal, yaitu negara yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pihak yang bersifat superior; dan warga negara yang berkedudukan di bawah pemerintah, yang bersifat inferior.
B. Hukum Gencatan Senjata
Secara khusus, instrumen-instrumen yang menjadi dasar bagi pembentukan Hukum Gencatan Senjata berlaku hanya kepada para peserta perjanjian yang bersangkutan, walaupun secara umum perjanjian tersebut juga dapat berlaku pula dalam masyarakat internasional.
C. Dasar hukum bagi legalitas suatu negara untuk berperang
Piagam PBB (termasuk Bab VII Piagam PBB) merupakan suatu perjanjian yang berlaku dan bersifat mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara-negara anggota PBB. Sebagaimana dikemukakan mengenai perjanjian-perjanjian gencatan senjata, maka Piagam PBB juga berlaku dalam masyarakat internasional secara umum.
D. Hukum Humaniter
Ketika terjadi peperangan, maka Hukum Humaniter berlaku bagi pihak atau negara-negara yang sedang bersengketa (belligerents). Walaupun terdapat ketentuan-ketentuan lainnya dari Konvensi Den Haag mengenai negara-negara netral, namun ketentuan-ketentuan tersebut pada umumnya untuk menjaga dan mempertahankan kenetralan negara-negara yang tidak berperang sehingga tidak memperluas skala dan intensitas perang itu sendiri.
Dengan melihat perbedaan siapa-siapa sajakah para pihak yang terlibat, maka kita dapat mengetahui bahwa pihak-pihak yang mendapatkan pengaturan dalam Hukum Humaniter hanyalah negara-negara yang sedang bersengketa saja; berbeda dengan pihak-pihak yang diatur dalam ke tiga cabang hukum lainnya.
Upaya lainnya untuk meyakinkan perbedaan Hukum HAM Internasional, Hukum Gencatan Senjata dan dasar hukum bagi legalitas negara untuk berperang dengan Hukum Humaniter adalah dengan melihat waktu penerapannya. Selain Hukum Humaniter, maka ketiga cabang ilmu tersebut berlaku pada waktu damai; sementara Hukum Humaniter hanya berlaku pada waktu perang. Perkecualiannya mungkin hanya terdapat dalam intisari ham (hard-core rights, inalienable rights, non-derogable rights), di mana hanya hak-hak asasi manusia yang dasar saja (intisari ham) yang tetap berlaku setiap saat termasuk pada waktu peperangan.
Setelah melihat berbagai perbedaan tersebut di atas, maka mudah-mudahan telah jelas, bahwa Hukum Humaniter itu berbeda (dari berbagai sudut pandang) dari Hukum HAM Internasional, Hukum Gencatan Senjata, dan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai “ius ad bellum”, walaupun masing-masing memang ada kaitannya dengan penggunaan senjata. Dengan tulisan ini maka diharapkan tidak terjadi lagi kesimpang-siuran mengenai hukum apa yang berlaku di dalam peperangan.

“SARANA-SARANA TATA USAHA NEGARA LAINNYA”

PENDAHULUAN

Pemerintahan merupakan organ untuk menjalankan wewenang yang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap rakyat. Meskipun jabatan pemerintahan memiliki hak dan kewajiban/diberikan hak untuk melakukan kegiatan hukum, pemerintah tidak dapat bertindak sendiri. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan-peraturan dan sarana-sarana agar pemerintahan bisa menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik.
Dalam urusan usaha negara, pemerintahan merupakan tombak utama dalam kegiatan tersebut, karena keputusan yang akan diambil atau dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu disini akan dijelaskan apa itu peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan tata usaha negara yang memuat pengaturan yang bersifat umum. Agar kita mengetahui kenapa setiap keputusan itu harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Kemudian di dalamnya diperlukan sarana-sarana lain untuk menjalankan pemerintahan tersebut, yaitu peraturan kebijaksanaan, rencana (het plan) untuk suatu tujuan yang baik, perbuatan materiel sebagai pekerjaan pemerintah yang sebagian besar ditunjukkan kepada usaha memenuhi kebutuhan nyata.











I. Peraturan Perudang-undangan dan Keputusan Tata Usaha Negara yang Memuat Pengaturan Bersifat Umum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) RI No. XX/MPRS/1966 tentang momeradum DPRGR mengenai sumber tata tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan RI menggunakan istilah peraturan perundangan. Tap MPRS RI No. XX/MPRS/1966 menggunakan berbagai bentuk peraturan perudang-undangan menurut Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut :
a. UUD 1945
b. Ketetapan MPR
c. Undang-undang + Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Keputuan Presiden
- Peraturan menteri
- Instruksi menteri
- Dan lain-lain
Penjelasan pasal I angka 2, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 merumuskan bahwa peraturan perundang-undangan adalah “semua peraturan yang bersifat mengikat pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga mengikat secara umum”.
Pasal 53 ayat 2 sub a dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 “menentukan bahwa salah satu dasar pengujian (teoetsinggrond) yang dapat digunakan oleh seorang atau badan hukum perdata untuk menggugat badan atau pejabat tata usaha negara dihadapan hakim pengadilan tata usaha negara adalah manakala keputusan (beschkking) yang dikeluarkan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 10 tahun 2004, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud pada pasal 53 ayat 2 sub b Undang-Undang No. 5 tahun 1986 termasuk pula keputusan tata usaha negara merupakan pengaturan yang bersifat umum dan dapat dijadikan salah satu dasar hukum bagi dikeluarkannya suatu keputusan.

II. Peraturan-Peraturan Kebijaksanaan
a. Pengertian Peraturan Kebijaksanaan
Peraturan kebijaksanaan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintah lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal, baik langsung ataupun tidak langsung.
b. Ciri-ciri Peraturan Kebijaksanaan
Menurut J.H. van Kreveld menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijaksanaan adalah sebagai berikut :
1. Peraturan itu langsung ataupun tidak langsung, tidak didasarkan kepada ketentuan undang-undang formal atau UUD yang memberikan kewenangan mengatur, dengan kata lain peraturan itu tidak ditemukan dasarnya dalam undang-undang.
2. Peraturan itu, tidak tertulis dan muncul melalui serangkaian keputusan-keputusan pemerintah dalam melaksanakan kewenangan pemerintah yang bebas terhadap warga negara atau ditetapkan secara tertulis oleh instansi pemerintahan tersebut.
3. Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum.
c. Fungsi Peraturan Kebijaksanaan
Menurut Marcus Lukman, peraturan kebijaksanaan dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya yang berarti :
1. Sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan
2. Sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan
3. Sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan
4. Sebagai sarana peraturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman
5. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi

III. Rencana (Het Paln)
Rencana didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan merupakan fungsi organik pertama dari administrasi dan manajemen, karena tanpa adanya rencana, maka tidak ada dasar untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka usaha pencapaian tujuan. Pada negara hukum kemasyarakatan modern, rencana dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintahan, misalnya pengaturan tata ruang, pengurusan kesehatan, dan pendidikan. Rencana juga merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib (teratur). Suatu rencana menunjukkan kebijaksanaan apa yang akan dijalankan oleh tata usaha negara pada suatu lapangan tertentu.
Di Indonesia perencanaan sangat berperan dalam pelaksanaan pemerintahan, disadari bahwa berbagai upaya dan kebijaksanaan yang diambil oleh badan-badan dan pejabat tata usaha negara adalah berkait satu sama lain, serta memiliki konsekuensi keuangan yang saling berpengaruh. Karenanya perlu terlebih dahulu dibuatkan rencana-rencana yang berkaitan secara sinkron, serta tidak tumpang tindih, dan utamanya efisien didalam hal pembiayaan.
Pada umumnya rencana-rencana pembangunan yang dibuat oleh badan-badan tata usaha negara didasarkan pada dasarnya pada besarnya porsi belanja dan subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi kegiatan tiap sektor/subsektor dari departemen/non departemen dan jawaban yang bersangkutan. Perencanaan dapat dikategorikan yaitu sebagai berikut :
a. Perencanaan informatif, yaitu rancangan estimasi mengenai perkembangan masyarakat yang dituangkan dalam alternatif-alternatif kebijakan tertentu
b. Perencanaan indikatif, yaitu rencana-rencana yang memuat kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dan mengindikasikan bahwa kebijakan itu akan dilaksanakan
c. Perencanaan operasional atau normative, yaitu rencana-rencana yang terdiri dari persiapan-persiapan, perjanjian-perjanjian dan ketetapan-ketetapan.

IV. Penggunaan Sarana Hukum Keperdataan
Pemerintahan dalam melakukan kegiatan sehari-hari tampil dengan dua kedudukan yaitu sebagai wakil dari badan hukum dan wakil jabatan pemerintahan. Sebagai wakil dari badan hukum, kedudukan hukum pemerintah tidak berbeda atau badan hukum perdata pada umumnya yaitu diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum keperdataan. Menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat, ketika badan hukum publik terlibat dalam pergaulan hukum keperdataan, ia bertindak tidak sebagai pemerintah sebagai organisasi kekuasaan, tetapi ia terlibat bersama-sama dengan warga privat. Pada dasarnya harus tunduk pada kekuasaan hukum dan hakim (peradilan) biasa, sebagaimana halnya warga negara.
Badan-badan atau para pejabat tata usaha negara bertindak melalui dua macam peranan, yaitu :
a. Selaku pelaku hukum publik (public actor) yang menjalankan kekuasan publik (public, openbaar gezang) yang dijelmakan dalam kualitas penguasa (authorities) seperti halnya badan-badan tata usaha negara dan berbagai jabatan yang diserahi wewenang penggunaan kekuasaan publik.
b. Selaku hukum keperdataan (civil actor) yang melakukan berbagai perbuatan hukum keperdataan, seperti halnya mengikat perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan dan sebagainya.
Disini, badan atau pejabat tata usaha negara menjalankan peranan sebagai pelaku hukum keperdataan (civil actor). Perbuatan hukum yang dilakukan badan/pejabat tat ausaha negara itu tidak diatur berdasarkan hukum publik, tetapi didasarkan pada peraturan perundang-undangan hukum perdata, sebagaimana lazimnya peraturan perundang-undangan yang mendasari perbuatan hukum keperdataan yang dilakukan seorang warga dan badan hukum perdata. Terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tata cara/prosedur tertentu yang harus ditempuh berkenaan upaya perbuatan hukum keperdataan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Misalnya, badan atau pejabat tata usaha negara tidaklah dapat dengan begitu saja melakukan pembelajaran (pengadaan) barang dan jasa bagi kebutuhan departemen/lembaga tanpa melalui tata cara dan prosedur yang telah ditetapkan, apalagi pembelajaran itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara.
Penggunaan instrument hukum publik merupakan fungsi dasar dari organ pemerintahan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.

V. Perbuatan Materiel
Perbuatan materiel dari badan tata usaha/negara dikenal dengan istilah feitelijike handeling, menurut kuntjoro purbopranoto menterjemahkan bahwa perbuatan materiel itu ialah tindak pemerintah yang berdasarkan fakta, sedangkan Djenal Hoesen Koesoemahatmadja mengatakan bahwa, perbuatan materiel ialah tindakan yang bukan tindakan hukum. Pada hukumnya perbuatan materiel selalu dikemukakan sebagai jenis perbuatan pemerintah yang berdiri sendiri dan ditempatkan secara terpisah dari jenis pengelompokkan perbuatan hukum pemerintah.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara maka terdapat kesan bahwa tidak mungkin membawa suatu kasus perbuatan materiel kehadapan pengadilan tata usaha negara, karena keputusan (beschkking) yang dimaksud pada ketentuan undang-undang peradilan tata usaha negara itu memuat perbuatan hukum tata usaha negara dan mensyaratkan timbulnya sifat hukum bagi seseorang/badan hukum perdata.
A.M. Donner (1987) berpendapat, bahwa beberapa perbuatan materiel dari tata usaha negara seperti halnya pemasangan papan nama jalanan, pengukuran tanah swasta guna pembangunan gedung-gedung pemerintah merupakan perbuatan-perbuatan yang secara langsung menimbulkan akibat-akibat hukum. Perbuatan materiel yang dilakukan berkenaan dengan suatu upaya pembangunan tidak terlepas dari wewenang publik yang melekat pada jabatan aparat pemerintahan/badan tata usaha negara. Wewenang publik dimaksud diadakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.









KESIMPULAN

Peraturan perundang-undangan selaku penamaan sebuah produk hukum tertulis yang dibuat dan diberlakukan oleh negara berdasarkan tata urutan perundangan menurut UUD 1945, tetapi tidak semua peraturan perundang-undangan dibuat badan kekuasaan legislatif, pemerintah pusat, dan badan-badan pembuat peraturan pada pemerintahan daerah tingkat I dan II. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum begitu juga dengan keputusan tata usaha negara, peraturan kebijaksanaan, dan perbuatan materiel pemerintah yang berlaku umum dan bisa dijadikan salah satu dasar hukum bagi dikeluarkannya suatu keputusan.
Peraturan kebijaksanaan tidak memiliki dasar yang kuat dalam UUD 1945, baik undang-undang formal, baik secara langsung/ tidak langsung, peraturan ini hanya sebagai pelengkap, penyempurnaan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan. Dalam satu pemerintah diperlukan suatu perencanaan karena tanpa adanya rencana suatu kegiatan dalam pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik, dan tujuan yang dihasilkanpun baik. Rencana ini berfungsi agar tidak terjadi kegiatan yang tumpang tindih dan utamanya biaya yang dikeluarkan lebih efisien.

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 1 Tahun 2004 Tentang BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)

Majelias Ulama Indonesia,
MENIMBANG :
a. bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,individu maupun lainnya;
b. bahwa Ijtima’Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga;
c. bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memnadang perlu menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk di jadikan pedoman.

MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tiadak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain : Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim). Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim). Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I). Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah). Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah) Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)


MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,oleh :
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.
a. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an :
b. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary :
c. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth :
d. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur;an :
e. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan :
f. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :
g. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk :
h. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
a. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
b. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
c. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
d. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
3. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
4. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvension

Selasa, 01 September 2009

zakat

Zakat Fitrah
Dikirim: [31/07/2009]

1. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUMNYA.

Zakat fitrah atau dikenal dengan sebutan zakat badan, zakat ru'us atau shodaqoh fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan bagi setiap muslim yang mampu, sebab menemui sebagian bulan Romadlon dan bulan Syawal. Zakat fitrah khusus disyari'ahkan kepada ummat Nabi Muhammad, dan mulai diwajibkan pada dua hari menjelang hari 'Idul fitri pada tahun kedua Hijriah.

Mengeluarkan zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap orang yang telah menetapi syarat wajibnya. Dalam hadits riwayat Bukhori Muslim diriwayatkan :

"Dari Ibnu Umar RA .ia berkata, Rosululloh SAW mewajibkan zakat fitrah satu sho' dari kurma atau satu sho' dari gandum atas hamba/budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, yang kecil dan yang besar dari kaum muslimin. Dan Rosul memerintahkan supaya diberikan sebelum orang-orang keluar untuk sholat (Idul fitri)"

Diantara hikmah syari'ah zakat fitrah yang bisa kita ambil adalah :

1. Membersihkan jiwa dan menyempurnakan pahalanya orang yang telah berpuasa Romadlon. Dengan berzakat fitrah, nilai ibadah puasa Romadlon yang barangkali berkurang karena hal-hal yang kurang baik yang dilakukan seorang muslim,menjadi sempurna. Sebagaimana sujud sahwi yang menyempurnakan kekurangan dalam sholat. Dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah disebutkan :

"Rosululloh SAW mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan bagi yang puasa daripada sia-sia dan kekotoran mulut dan sebagai makanan bagi orang miskin. Barang siapa mengeluarkan zakat sebelum sholat, maka (termasuk) zakat yang diterima. Dan barang siapa mengeluarkan zakat setelah sholat, maka (termasuk) shodaqoh dari beberapa shodaqoh".

Dalam riwayat lain disebutkan :

"Puasa Romadlon itu digantungkan diantara langit dan bumi, tidak diangkat puasa tersebut kecuali dengan zakat fitrah" (HR. Abu Hafs bin Syahin)

Dalam I'anah At-Tholibin dijelaskan, maksud dari ‘(tidak diangkat)’ adalah sebagai kinayah dari sempurnanya puasa (Romadlon) itu tergantung dari orang yang berpuasa, apakah mengeluarkan zakat fitrah atau tidak. Bukan berarti,tanpa zakat fitrah berarti puasa tidak diterima.



2. Membahagiakan orang-orang fakir. Rosululloh SAW bersabda (yang artinya):

"Kayakanlah mereka (orang-orang faqir) dari kehinaan meminta­-minta dihari ini" (HR. Daruquthni dan Baihaqi)



2. SYARAT WAJIB ZAKAT FITRAH.

Seseorang wajib mengeluarkan zakat fitrah,baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang-orang yang ditanggung nafkahnya,dengan syarat sebagai berikut :

1. Islam.

2. Merdeka (bukan budak/hamba sahaya)

3. Mempunyai makanan,harta atau nilai uang "yang lebih" dari yang diperlukan pada malam dan siangnya hari raya.



Bagi orang yang tidak menetapi persyaratan diatas, tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah.Sedangkan syarat wajib bagi orang yang dizakati adalah :

1. Islam.

2. Menemui waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah,yaitu menemui sebagian bulan Romadlon dan bulan Syawal.

Lebih jauh, ‘devinisi lebih’ dalam zakat fitrah diartikan mempunyai kelebihan makanan atau materi dari yang diperlukan pada malam dan siangnya hari 'Idil Fitri. Baik untuk keperluan dirinya sendiri ataupun orang-orang yang wajib dinafkahi. Oleh sebab itu, standar lebih tidaknya mencakup harta yang menjadi kebutuhan pokok, seperti tempat tinggal yang layak (tidak berlebihan), pakaian, alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Artinya, apabila saat waktu wajib fitrah tidak mempunyai kelebihan makanan/materi, maka tidak wajib menjual harta pokok guna untuk membayar zakat fitrah. Dalam kitab As-Syarqowi diterangkan, apabila pada han 'Idil Fitri tidak mempunyai kelebihan, maka tidak wajib zakat walaupun (yakin) keesokan harinya punya kelebihan, namun sunnah untuk hutang guna untuk fitrah.



3. MEKANISME DAN KADARNYA ZAKAT FITRAH.

Salah satu dari hikmah syari'ah zakat fitrah adalah berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang kurang mampu pada hari yang berbahagia (hari raya), dengan memberikan barang yang paling diperlukan dalam hidup, yaitu makanan.

Oleh sebab itu, makanan yang digunakan sebagai zakat fitrah distandartkan dengan makanan yang paling dominan dalam masyarakat pada masa itu. Diantara syarat-syarat benda yang digunakan sebagai zakat fitrah adalah :



a. Berupa bahan makanan.

Menurut Madzab Syafi'i, benda yang digunakan sebagai zakat fitrah harus berupa makanan (bukan uang) yang pada masa itu (tahun/hari raya) dijadikan sebagai makanan pokok oleh mayoritas orang dalam daerah tersebut.

Apabila terdapat beberapa makanan pokok yang terlaku, maka boleh menggunakan salah satu dari jenis makanan tersebut. Dan diperbolehkan menggunakan jenis makanan yang paling banyak mengandung kadar kekuatan (paling mengenyangkan).



b. Sejenis (tidak campuran)

Bahan makanan yang digunakan zakat fitrah harus sejenis, tidak campuran. Misalnya, jenis beras, jenis gandum, jenis jagung dan lain-lain. Oleh sebab itu, tidak boleh menggunakan makanan pokok campuran, seperti beras campur jagung, beras campur gandum dan lain-lain.



c. Dikeluarkan ditempat orang yang dizakati.

Apabila tempat dan standart makanan pokok dari orang yang dizakati dan orang yang menzakati berbeda, maka jenis makanan pokok yang digunakan zakat dan tempat memberikannya disesuaikan dengan daerahnya orang yang dizakati.

Misalnya. Seorang ayah yang berada didaerah Kediri dengan makanan pokok beras, menzakati anaknya yang berada di Madura dengan makanan pokok jagung. Maka makanan pokok yang digunakan untuk zakat adalah jagung dan diberikan pada golongan penerima zakat di Madura.

d. Satu sho’ untuk setiap orang.

Makanan pokok yang dikeluarkan sebagai zakat fitrah kadarnya adalah satu sho’. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Rasulullah. Satu sho’ tersebut kurang lebih 2.5 Kg, namun ada pula yang mengatakan bahwa satu sho’ sama dengan 2.75 Kg. namun agar lebih hati-hati kita mengambil pendapat ulama yang mengatakan satu sho’ adalah 3 Kg.



Apabila makanan/harta "yang lebih" jumlahnya kurang dari satu sho', maka tetap wajib dikeluarkan sebagai zakat fitrah. Dan hukumnya tetap sah, walaupun kurang dari satu sho'. Sedangkan seseorang yang mempunyai kewajiban menzakat fitrahi satu keluarga, namun makanan/harta yang lebih hanya beberapa sho' (tidak mencukupi untuk semua keluarga), maka metode pentasarufannya (pengeluaran zakatnya) adalah sesuai urutan berikut ini :

1. Atas nama dirinya sendiri /orang yang mengeluarkan zakat.

2. Atas nama anaknya yang masih kecil.

3. Atas nama ayahnya.

4. Atas nama ibunya.

5. Atas nama anaknya yang sudah besar dan dalam kondisi tidak mampu.

6. Atas nama budaknya.



4. WAKTU MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH.

Orang yang menemui (masih hidup) disebagian bulan Romadlon dan bulan Syawal wajib mengeluarkan zakat fitrah (untuk dirinya sendiri) atau dizakat fitrahi oleh orang yang berkewajiban menanggung nafkahnya atau oleh orang lain dengan seidzin orang yang dizakati.

Waktu mengeluarkan / memberikan zakat fitrah terbagi menjadi 5, yaitu :

1. Waktu jawaz.

Yaitu, mulai awal bulan Romadlon sampai awal bulan Syawal (waktu wajib). Artinya, zakat fitrah boleh diberikan sejak memasuki bulan Romadlon, bukan waktu sebelum Romadlon.

2. Waktu Wajib.

Yaitu, sejak akhir Romadlon (menemui sebagian bulan Romadlon) sampai 1 Syawal (menemui sebagian bulan Syawal). Oleh sebab itu, orang. yang meninggal setelah Magribnya 1 Syawal wajib dizakati, sedangkan bayi yang lahir setelah Magribnya 1 Syawal tidak wajib dizakati.

3. Waktu sunnah.

Yaitu, setelah fajar dan sebelum sholat hari raya Idul Fitri 1 Syawal.

4. Waktu Makruh.

Yaitu, setelah sholat Idul Fitri sampai tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Mengeluarkan zaakat fitrah setefah sholat hari raya hukumnya makruh, apabila tidak ada udzur. Oleh sebab itu, apabila pengakhiran tersebut karena ada udzur, seperti menanti kerabat atau orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh.

5. Waktu haram.

Yaitu, setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Mengakhirkan zakat fitrah sehingga keluar dan 1 Syawal hukumnya haram apabila tanpa udzur. Jika pengakhiran tersebut karena udzur, seperti menunggu hartanya yang tidak ada ditempat, atau menunggu orang yang berhak menerima zakat, maka hukumnya tidak haram. Sedangkan status dari zakat fitrah yang dikeluarkan setelah 1 Syawal adalah qodlo'.



5. NIAT ZAKAT FITRAH.

Zakat fitrah merupakan sebuah ibadah fardlu yang sudah barang tentu membutuhkan niat. Melihat fenomena zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain (yang menanggung nafkahnya atau yang mendapat idzin dari orang yang dizakati), maka pelaku niat dalam zakat fitrah ada 3 macam :

a. Zakat untuk dirinya sendiri.

Apabila zakat fitrah atas nama dirinya sendiri (pelaku zakat), maka yang niat pelaku zakat itu sendiri.

b. Zakat untuk orang yang ditanggung fitrahnya.

Apabila zakat atas nama orang lain, yang fitrahnya menjadi tanggungan dari pelaku zakat, maka yang melakukan niat adalah pelaku zakat tanpa harus mendapat idzin dari orang yang dizakati. Seperti, seorang suami/kepala rumah tangga mengeluarkan zakat atas nama istrinya, anaknya yang masih kecil, orang tua yang tidak mampu dan lain lain. Dan diperbolehkan, pelaku zakat memberikan makanan yang akan digunakan zakat kepada orang yang akan dizakati, agar melakukan niat sendiri.

Dan seandainya "orang yang fitrahnya" menjadi tanggungan pelaku zakat mengeluarkan zakat fitrah atasnama dirinya sendiri dan dengan hartanya sendiri, maka hukumnya sah, walaupun tidak mendapat idzin dari pelaku zakat (penanggung fitrah). Seperti, seorang istri yang kaya mengeluarkan zakat untuk dirinya sendiri.

c. Zakat untuk orang yang tidak ditanggung fitrahnya.

Apabila zakat atas nama orang lain, yang fitrahnya tidak menjadi tanggungan dari pelaku zakat, maka zakat dan niat dari pelaku zakat dihukumi sah apabila sudah mendapat idzin dari orang yang dizakati. Seperti, seorang pelaku zakat mengeluarkan zakat atas nama anaknya yang sudah dewasa (kecuali jika dalam kondisi cacat atau sedang belajar ilmu agama), saudara, anak buah atau orang lain yang fitrahnya tidak menjadi tanggungan pelaku zakat.

Jika tidak mendapat idzin dari orang yang dizakati, maka zakat dan niat dari pelaku zakat hukumnya tidak sah, alias tidak bisa menggugurkan kewajiban fitrahnya orang yang dizakati. Oleh sebab itu, orang yang dizakati wajib mengeluarkan zakat fitrah­ sendiri.

Waktunya niat zakat fitrah boleh dilakukan pada saat memisahkan makanan pokok yang digunakan zakat, atau saat memberikan zakat pada orang yang berhak menerimanya, atau ­waktu antara memisahkan zakat dan memberikan zakat pada fakir miskin. Wallohu Alam

Referensi: Kitab Al Bajuri, As Syarqowi, Nihayatuz zain, Kifayatul Akhyar.