Senin, 31 Agustus 2009

Administrasi Peradilan Pidana Indonesia

Administrasi Peradilan Pidana Indonesia
I. Pendahuluan
Wacana tentang peradilan terpadu mengemukakan sehubungan dengan adanya TAP MPR-RI NO. VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2000. TAP MPR itu antara lain menekankan bahwa MA perlu melaksanakan asas-asas sistem peradilan terpadu. Peringatan ini menyadarkan kepada kita tentang kondisi obyektif sistem peradilan pidana yang tidak hanya terkesan fragmentaris dan berorientasi sektoral, tetapi juga cenderung mengganggu terhadap sistem secara keseluruhan.
Dalam sistem peradilan pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam menjunjung dan menegakan hukum, diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan. Keempat itupun seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dan sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.[1] Cakupan tugas dari sistem peradilan pidana ini memang luas karena didalamnya termasuk (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.[2]
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) memang diharapkan dapat menanggulangi masalah kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang Pengadilan dan diputuskan bersalah sehingga mendapat hukuman pidana. Agar dapat efektif dalam menanggulangi kejahatan, semua komponen dalam sistem ini diharapkan bekerja sama membentuk apa yang dikenal dengan nama “Integrated criminal justice system.” Hal ini jelas karena menurut Hyman Gross penanggulangan kejahatan sendiri mendapat tempat yang terpenting diantara berbagai persoalan yang menjadi perhatian pemerintah di setiap negara.[3]
Sistem peradilan pidana (terpadu)[4] bisa berdimensi internal maupun bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal apabila perhatian ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Sedangkan dimensi eksternal lebih karena kaitannya yang hampir tidak bisa dipisahkan dari sistem sosial yang lebih luas. Yang terakhir ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem peradilan dalam pencapaian tujuannya, termasuk di sini budaya hukum kekuasaan dan masyarakat, perkembangan politik, ekonomi, sosial, iptek, pendidikan dan sebagainya.[5] Contoh budaya hukum kekuasaan adalah kecenderungan terjadinya politisasi hukum atau instrumentalisasi hukum baik dalam proses pembuatan UU maupun dalam praktek penegakan hukum.
Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter sistem yang bersifat umum,[6] yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam kerangka itu secara internal sistem peradilan harus berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior), pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu.
Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (shared norms and values).[7] Sebagai contoh, adalah kenyataan bahwa sistem peradilan pidana selalu bekerja atas dasar sistem informasi yang berjenjang. Karena itu apabila muncul informasi yang menyesatkan akan dengan sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan, misalnya berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan. Untuk dapat mengevaluasi atau mengaudit sampai seberapa jauh sistem peradilan pidana sudah bekerja dengan baik, perlu dirumuskan indeks sistem peradilan pidana yang pada hakekatnya merupakan indikator kinerja sistem peradilan pidana, baik dalam tataran idiil, tataran asas maupun tataran operasional dan tataran penunjang.
Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu: keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi terpidana; keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya kejahatan; dan keberhasilan sistem peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Indeks pada tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM, berorientasi tidak hanya kepada model rehabilitatif tetapi juga kepada model restoratif.[8]
Pada level operasional, pelbagai indeks yang semakin konkrit mencakup antara lain; keberadaan “UU payung” (umbrella act) yang dapat menciptakan sinergi positif antar subsistem (semacam Wet RO, 1928 di masa lalu); berorientasi baik kepada tindak pidana; keterukunan dari clearance rate, conviction rate, rate of recall to prison. Selanjutnya juga tingkat terjadinya disparitas pidana, tersedianya pelbagai sistem sanksi pidana alternatif (restorative justice), dan tingkat kecepatan penanganan perkara baik di lingkungan subsistem maupun sistem secara keseluruhan.[9]
Pada tataran penunjang indeks terpenting nampak pada kualitas sumber daya manusia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan terorganisasi dengan baik, kepemimpinan yang bertanggungjawab, partisipasi masyarakat terhadap sistem peradilan pidana, dan sistem pelatihan terhadap antar penegak hukum.[10]

II. Pembahasan
Untuk membahas masalah sistem peradilan pidana terpadu, maka penulis mencoba mempersempit pembahasan hanya pada bidang pengadilan saja sebagai salah satu unsur sebagai sistem peradilan pidana. Penulis mencoba untuk mengkhususkan penulisan berkenaan dengan aspek peranan administrasi peradilan.
A. Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan bisa bermakna ganda. Pertama, bisa diartikan sebagai court administration, dalam arti pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan peradilan. Kedua, dalam arti administration of justice yang mencakup proses penanganan perkara (caseflow management) dan prosedur serta praktek litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power).[11] Kekuasaan mengadili ini berhubungan erat dengan proses penegakan hukum. Dua makna tersebut berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab yudisial yang mengandung tiga dimensi yaitu: (a) tanggung jawab administratif yang menuntut kualitas pengelolaan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial; (b) tanggung jawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acarayang digunakan; dan (c) tanggung jawab substantif yang yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku.[12] Tanggung jawab mengandung dimensi hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan atau akuntabilitas yang bisa bersifat responsif (peka terhadap kebutuhan masyarakat), bersifat representatif (yang menuntut sikap jujur dan tidak diskriminatif) dan bersifat ekonomis (kesadaran adanya pengawasan publik, khususnya berkaitan dengan dana-dana masyarakat yang digunakan).
Pada era reformasi, kewenangan penguasaan dua dimensi makna administrasi peradilan di atas sangat dipersoalkan (sampai saat ini implementasinya belum selesai) sebab berkaitan dengan kebiasaan kekuasaan di era Orde Baru yang sering mengooptasi kekuasaan kehakiman sehingga tidak pernah tumbuh sebagai lembaga independen. Padahal, independensinya lembaga kehakiman di negara manapun merupakan salah satu ukuran yang paling menonjol untuk melihat apakah sebuah sistem kekuasaan demokratis atau otoriter. Betapa pentingnya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka ini nampak dari pernyataan-pernyataan sebagai berikut[13] :
“The principle of complete independence of the judiciary from the executive is the foundation of many things in our island life…the judge has not only to do justice between man and man. He also has to do justice between the citizens and the state. He has to ensure that the administration conforms with the law and to adjudicate upon the legality of the exercise by the executive of its power.” (Sir Winston Churchill).
Fundamental rights and liberties can bet be preserved in a society where the legal profession and the judiciary enjoy freedom from interference and pressure (Louis Joined, UN Repporteur on the Independence of Judiciary).”
Atas dasar pengalaman dan praktek demokrasi di pelbagai negara, terdapat suatu hipotesa bahwa kualitas demokrasi suatu bangsa yang antara lain ditandai dengan menjunjung asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, akan lebih efektif daripada usaha untuk menghindari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif dengan cara menyatukan “administrasi peradilan” dan “kekuasaan pengadilan” dalam satu kekuasaan: Mahkamah Agung.[14] Pengalaman di Indonesia sejak kemerdekaan, kemudian disusul Orde Lama dan Orde Baru, menunjukkan bahwa Pemisahan dua kekuasaan tersebut di dua lembaga yaitu di lembaga eksekutif (Departemen Kehakiman, Departemen Hankam dan Departemen Agama) untuk aspek “administrasi peradilan” (organisasi, administrasi dan finansial) dan di lembaga yudikatif (Mahkamah Agung) untuk aspek judicial power, sangat rawan terhadap gangguan bagi asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.[15] Seperti yang diutarakan pada bagian awal, asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu karakteristik sistem peradilan terpadu pada tataran asas.
Dari uraian selanjutnya akan nampak bahwa mengingat budaya hukum demokrasi yang belum melembaga di Indonesia, maka menempatkan hukum sebagai instrumen (instrumentalisasi hukum) untuk melindungi kekuasaan kehakiman yang merdeka akan lebih efisien dan efektif daripada mempercayakan mekanisme perlindungannya kepada budaya hukum yang masih diragukan.[16] Dalam hal ini ada pendapat yang menarik, dan ada baiknya dikemukakan, yaitu usul perluasan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka agar diperluas mencakup perlindungan integritas keseluruhan sistem peradilan pidana yang mencakup independensi administrasi peradilan, termasuk independensi penyelidik, penyidik dan penuntut umum sebagai penegak hukum.[17]
Disamping keterkaitanya dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka baik buruknya kinerja administrasi peradilan akan merupakan variabel independen terhadap promosi dan perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana. Dalam hal ini penghayatan terhadap pedoman yang tersurat dan tersirat dalam pelbagai instrumen internasional tak dapat dihindarkan.
B. Fungsionalisasi Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan, baik dalam arti court administration maupun sebagai refleksi judicial power, hanya akan berperan maksimal dan bermakna terhadap sistem peradilan pidana terpadu apabila dapat mengelola jati dirinya sebagai pendukung prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berhasil mempromosikan serta melindungi HAM dalam administrasi peradilan pidana.[18]
Dalam konteks court administration guna menegakkan prinsip kekuasaan kehakimian yang merdeka di era reformasi, maka atas dasar amanat TAP MPR RI No. X/MPR/1998 yang mengamanatkan Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif dengan mengalihkan organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah departemen-departemen menjadi berada di bawah MA, maka diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004. Untuk pelaksanaannya secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak UU tersebut berlaku (31 Agustus 1999).[19]
Menyadari di masa lalu MA boleh dikatakan telah mengalami kerusakan sistemik, maka usaha untuk memperbaikinya harus dilakukan secara sistemik pula guna menyongsong dua wewenang yang dimasa datang akan berada di bawah kekuasaannya. Selanjutnya dalam ruang lingkup pemahaman administrasi peradilan sebagai administration of justice maka pengamanan harus dilakukan dengan melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan yang dapat mencederai integritas administrasi peradilan pidana tersebut.
Kelompok tindak pidana yang masuk kategori offences against the administration of justice antara lain mencakup tindak-tindak pidana seperti; menolak untuk membantu polisi, lari dari penjara, membuang atau menggelapkan alat atau barang bukti, menghalangi penahanan atau penuntutan, sumpah dan kesaksian palsu, menyampaikan bukti-bukti palsu, mempengaruhi saksi dan penyuapan (koruptif), menghambat atau mengganggu proses kesaksian, melakukan pembalasan terhadap saksi, melakukan intimidasi, menyuap untuk mempengaruhi pejabat pengadilan dengan tujuan untuk memaksa pejabat yang bersangkutan untuk tidak melakukan atau melakukan tugasnya secara tidak benar (termasuk pula di sini pejabat pengadilan yang menerima suap), melakukan pembalasan terhadap pejabat pengadilan sehubungan dengan pelaksanaan tugas pejabat yang lain, melakukan perbuatan tidak patut di depan pengadilan, dan merendahkan martabat pengadilan (contempt of court).[20]
Khusus mengenai promosi dan perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana, mencakup di dalamnya usaha untuk selalu mencapai atau mendekati standar umum kemajuan sebagaimana ditentukan oleh pelbagai instrumen internasional yang mencakup antara lain, penegakan persamaan hukum dan pencegahan diskriminasi baik secara tertulis maupun praktis, perlindungan asas legalitas, hak untuk hidup dan bebas dari pemidanaan yang kejam dan tidak biasa, hak-hak kebebasan dan hak terpidana (prisoners rights), hak untuk diadili secara adil, adminitrasi peradilan bagi anak remaja (Administration of Juvenile Justice), kekuasaan kehakiman yang merdeka; pelbagai Kode Etik untuk para penegak hukum; dan lain sebagainya.
C. Administrasi Peradilan dalam Proses Perkara Pidana
Apabila kita berbicara mengenai masalah administrasi, maka terdapat dua macam pengertian administrasi. Pertama; court administration, yang dalam hal ini berarti keadministrasian atau tertib administrasi yang harus dilaksanakan berkaitan dengan jalannya kasus tindak pidana dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pelaksanaan putusan dalam sistem peradilan pidana, dan kedua; administration of justice yang dalam hal ini dapat berarti segala hal yang mencakup tertib hukum pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara dan tata cara serta praktek litigasi[21]
Dua makna yang terkandung di dalam pengertian administrasi peradilan tersebut sangat berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab yudisial (judicial responsibility) yang mengandung tiga dimensi pertanggungjawaban, yaitu:[22]
1.Tanggung jawab administrasi (administrative responsibility);
2.Tanggung jawab prosedural (procedural responsibility), yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang dipergunakan;
3.Tanggung jawab substansi (substantif responsibility), yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku.
Berdasarkan pemahaman tentang administrasi tersebut, maka untuk mencapai tujuan yang demikian diperlukan suatu sistem dan manajemen yang mengatur sistem tersebut, terutama dalam hal ini berkaitan dengan wacana yang mengemuka yaitu mengenai penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Dan karena yang menjadi fokus perhatian tidak termasuk badan-badan di luar tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan tugas peradilan pidana, maka kemudian munculah istilah sistem peradilan pidana.[23]
Proses Perjalanan Perkara Pidana
a. Tahap Penyelidikan
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.[24] Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.[25] Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.[26]
Adapun bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana disebutkan dalam SK Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara:[27]
1. Laporan polisi;
2. Berita acara pemeriksaan polisi;
3. Laporan hasil penyelidikan;
4. Keterangan saksi/Saksi ahli; dan
5. Barang bukti.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada Penyidik

Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.[28] Selain itu penyelidik juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelompok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyelidik juga dapat membawa dan menghadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.

b. Tahap Penyidikan
Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing[29] (Belanda) dan investigation[30] (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia), KUHAP sendiri memberikan pengertian dalam Pasal 1 angka 2, sebagai berikut:

Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Penyidik yang dimaksud di dalam ketentuan KUHAP adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh UU. Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j KUHAP, yaitu ;
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana
2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.[31] Tiap kali penyidik melakukan tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut.
Apabila dalam penyidikan tersebut, tidak ditemukan bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.[32] Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya, sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP tentang praperadilan.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.

c. Tahap Penuntutan
Setelah proses penyidikan dilakukan maka penyidik melimpahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Ketika berkas perkara telah diterima oleh penuntut umum atau telah dianggap lengkap oleh penuntut umum maka telah masuk dalam penuntutan. Ketentuan dalam KUHAP memberikan batasan pengertian tentang penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7, yaitu:
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan.”
Penuntutan perkara dilakukan oleh Jaksa penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi wewenangnya, penuntut umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil peyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut diberitahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohonkan praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Penuntutan yang telah selesai dilakukan secepatnya harus segera dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri setempat, dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum diberi tanggal dan ditandatangani olehnya. Surat dakwaan tersebut berisikan identitas tersangka dan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan.
Dalam hal penuntut umum hendak mengubah surat dakwaan baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya, maka hal tersebut hanya dapat dilakukan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang.[33] Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.[34] Dalam hal penuntut umum melakukan perubahan surat dakwaan, maka turunan surat dakwaan disampaikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya dan penyidik.[35]

d. Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (tiga) orang.
Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya tidak diketahui.[36] Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Surat panggilan kepada terdakwa tersebut dilakukan dengan adanya surat tanda penerimaan. Hal ini penting untuk menentukan apakah terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut atau tidak.
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan tersebut dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir.
Terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, kemudian setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Namun apabila keberatan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.
Terhadap keputusan tersebut dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri. Dalam hal perlawanan diterima oleh pengadilan tinggi maka dalam waktu 14 (empat belas) hari, dalam surat penetapannya harus tertulis adanya pembatalan putusan pengadilan negeri tersebut dan memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan perkara tersebut.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif (negatif wettelijk).[37] Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:
1.Keterangan saksi;
2.Keterangan ahli;
3.Surat;
4.Petunjuk; dan
5.Keterangan terdakwa.
Disamping itu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga menganut minimum pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimum pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh keyakinan hakim.
Setelah pemeriksaan telah dilaksanakan, tuntutan pidana dan pembelaan telah diajukan dalam persidangan, maka tiba saatnya majelis hakim memberikan putusan. Putusan majelis hakim diambil dalam suatu musyawarah majelis hakim yang merupakan permufakatan bulat yang berhasil dicapai. Apabila kebulatan tidak dapat diperoleh maka didasarkan dengan suara terbanyak, apabila mekanisme tersebut masih belum dapat mencapai suara bulat, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan terdakwa.

e. Tahap Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap tersebut dilakukan dengan tetap memelihara perikemanusiaan dan perikeadilan dan dilaksanakan jaksa setelah menerima salinan surat putusan pengadilan yang disampaikan oleh panitera.
Dalam hal terpidana diputus hukuman mati oleh pengadilan, maka pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum dan berdasarkan ketentuan undang-undang. Pelaksanaan pidana mati ini telah diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer.[38]
Dalam hal terpidana diputus pidana penjara maka jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada lembaga pemasyarakatan.[39] Apabila terpidana dipidana penjara dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana penjara maka tata cara pelaksanaannya sesuai dengan UU No.12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam rangka pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan pidana, terhadap terpidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, maka pengawasan dan pengamatan termaksud dilakukan oleh seorang hakim yang ditunjuk dalam lingkup pengadilan yang menjadi cakupan peradilan umum. Hakim pengawas dan pengamat termaksud dipilih oleh Ketua Pengadilan untuk masa waktu dua tahun. Pengawasan yang dilakukan tersebut guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adapun pengamatan dilakukan dalam rangka mengumpulkan bahan penelitian guna ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan. Pengamatan juga dilakukan setelah narapidana selesai menjalani pidananya.

III. Kesimpulan
• Kualitas administrasi peradilan baik dalam bentuknya sebagai court administration maupun sebagai administration of justice dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power) sangat berarti bagi terciptanya sistem peradilan pidana terpadu.
• Untuk dapat berperan efektif dan maksimal terhadap sistem peradilan pidana terpadu, dua dimensi makna administrasi peradilan harus dapat mencerminkan pelbagai indeks sistem peradilan pidana terpadu pada umumnya baik yang berada pada tataran ideal, tataran asas, tataran operasional dan tataran penunjang, maupun promosi dan perindungan kekuasaan kehakiman yang mereka dan HAM pada khususnya.
• Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu, khususnya untuk menghindari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif, maka dua dimensi administrasi peradilan harus berada dalam satu kekuasaan yaitu MA. Dengan demikian UU No. 35 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 harus dilaksanakan secara sistematik dan konsisten.
• Untuk dapat menerima tugasnya yang berat dalam rangka menyatukan kekuasaan mengadili, dan court administration, MA dengan segala jajarannya harus membenahi diri secara sistematik yang mencakup perbaikan struktural, substantif, cultural, kepemimpinan, keterbukaan akan kritik dan peningkatan kesejahteraan pejabat-pejabat pengadilan.
• Mengingat makna dari administrasi peradilan yang mencakup pula “administration of justice” dalam arti luas, maka disamping dukungan legislasi yang memadai (UU No. 4/2004 dan kriminalisasi perbuatan yang mengganggu), diperlukan semangat para pemegang peran di dalamnya untuk memperluas pengertian “the independence of judiciary” menjadi “the independence of the administration of justice”.
• Disamping kualitas penguasaan konseptual, perlu diperhatikan pelbagai faktor-faktor decisive lain seperti kualitas perundang-undangan, ketersediaan prasarana penunjang, kualitas SDM, partisipasi masyarakat, kualitas kepemimpinan dibidang hukum, dan kondisi sosial ekonomi yang kondusif.

IV. Saran
Pemahaman tentang administrasi peradilan masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Ada baiknya pemerintah bersama lembaga yudikatif membuat suatu terobosan baru berupa kebijakan-kebijakan mengenai administrasi peradilan sehingga masyarakat luas pada umumnya dan kalangan praktisi hukum khususnya dapat memahami arti penting dari administrasi peradilan tersebut. Kebijakan-kebijakan dimaksud dapat saja berupa peraturan Perundang-undangan atau bentuk aturan hukum lainnya yang sesuai.

Daftar Pustaka
Adisoeryo, Soeparno. Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Administrasi Peradilan Sistem Peradilan Terpadu. Makalah disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Terpadu, Jakarta, 16 Juli 2002.
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kebijakan. Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2001.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press, 2005.
Gross, Hyman. “A Theory of Criminal,” dalam W. Friedman, Law in A Changing Society, ed.II. New York : ColumbiaUniversity, 1972.
Hamid, H. Hamrat dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan. Jakarta : Sinar Grafika, 1997.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8. LN No. 76 Tahun 1981. TLN No. 3209.
Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta : P3ES, 1990.
Mahendra, A.A. Oka. “Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia. vol. 1 No. 4, Desember 2004 : 25.
Mahfud, Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES, 1998.
Manan, Bagir. Sistem Peradilan Berwibawa. (Suatu Pencarian). Jakarta : Mahkamah Agung, 2004.
Morris, Norval. “Introduction”, dalam Criminal Justice in Asia, Quest for an Integrated Approach. Newyork : UNAFEI, 1982.
Muladi. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : The Habibie Center, 2002.
_____. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab. Jakarta : The Habibie Centre, 2002.
_____. Peranan Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman di Era Reformasi. Jakarta: The Habibie Centre, 2002.
Prinst, Darwan. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta: Djambatan, 1998.
Reksodiputro, Mardjono. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994.
Santoso, Topo Polisi dan Jaksa : Keterpaduan dan Pergulatan. Jakarta : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000.
Satriyo, Rudi. Pengawasan Bidang Administrasi Peradilan Dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan. (Makalah disampaikan dalam seminar dan lokakarya tentang Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia pada tanggal 30-31 Mei 2002).
Supriyanto, Hadi. “Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 1 No.1 Juli 2004: 1.

[1] Norval Morris, “Introduction”, dalam Criminal Justice in Asia, Quest for an Integrated Approach, (Newyork : UNAFEI, 1982), hal. 5.
[2] Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 140.
[3] Hyman Gross, “A Theory of Criminal,” dalam W. Friedman, Law in A Changing Society, ed.II, (New York : Columbia University, 1972), hal. 54.
[4] Menurut Hamrat Hamid dan Harun M. Husein menyatakan bahwa penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan setiap tahap berhubungan erat serta saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu proses penanganan perkara pidana dikatakan sebagai suatu integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu) yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan. H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997), hal. 43.
[5] Budaya hukum merupakan suatu konsep baru dimana budaya hukum ini, mempunyai kelebihan mampu menarik perhatian orang terhadap nilai-nilai yang berkait dengan hukum dan proses hukum. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta : P3ES, 1990), hal. 119.
[6] Dalam studi tentang hukum banyak identifikasi yang dapat diberikan sebagai sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak terlalu surut dan umum. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1998), hal. 19.
[7] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan dan Pergulatan, (Jakarta : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000), hal. 6.
[8] Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta : The Habibie Center, 2002), hal. 35.
[9] Ibid.
[10] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Jakarta : Mahkamah Agung, 2004), hal. 31-32.
[11] Muladi, op.cit, hal. 36
[12] Muladi, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung jawab, (Jakarta : The Habibie (entre, 2002), hal. 224.
[13] Seperit dikutip dalam Muladi, Demokratisasi, HAM, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Op.cit, hal. 37.
[14] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2005), hal. 234-241.
[15] Muladi, Peranan Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman di Era Reformasi. (Jakarta: The Habibie Centre, 2002), hal. 7-11.
[16] Daniel S. Lev, Op.cit, hal. 120
[17] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kebijakan, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2001), hal. 25-30.
[18]Ibid, hal. 49-50.
[19] A.A. Oka Mahendra, “Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 1 No. 4, Desember 2004 : 25. Lihat juga Hadi Supriyanto, “Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.1 Juli 2004: 1.
[20] Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 33-40.
[21]Muladi, Demokratisasi, HAM, dan Reformasi Hukum di Indonesia, op.cit, hal. 3.
[22]Ibid.
[23]Rudi Satriyo, Pengawasan Bidang Administrasi Peradilan Dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan (makalah disampaikan dalam seminar dan lokakarya tentang Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia pada tanggal 30-31 Mei 2002).
[24] Indonesia, UU Nomor 26 tahun 2000, Pasal 1 angka 5.
[25]Indonesia, Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, pasal 5.
[26] Ibid, pasal 17.
[27]Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998), hal. 30.
[28]Hal tertangkap tangan diatur dalam UU No.26 tahun 2000 Pasal 11 Ayat (4), bandingkan dengan Pasal 102 Ayat (2) Jo Pasal 5 Ayat (1) huruf b UU NO.8/1981.
[29]Menurut de Pinto, opsporing berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 121-122.
[30]Investigation is an examination for the purpose of discovering information about something (the new webster Dictionary).
[31]Soeparno Adisoeryo, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Administrasi Peradilan Sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Terpadu, Jakarta, 16 Juli 2002), hal. 13.
[32]Indonesia, UU Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, ps. 109 ayat (2).
[33]Ibid, ps 144 ayat 1.
[34]Ibid, ps 144 ayat 2.
[35]Ibid, ps 144 Ayat 3.
[36]Masalah pemanggilan ini diatur dalam Pasal 145 UU NO.8/1981, termasuk tata cara pemanggilan dalam hal terdakwa tidak ada maka panggilan disampaikan kepada kepala desa dalam daerah hukum tempat kediaman terakhir dimaksud. Dalam hal terdakwa berada dalam tahanan maka surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara.
[37] Andi Hamzah, Ibid, hal 262.
[38]Ibid, hal. 320.
[39]Ibid, hal. 319.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar